Penjual Pentol

Pekerjaan saya saat ini membawa saya pada hal-hal yang belum pernah saya jumpai sebelumnya. Saya bekerja di lembaga sosial. Dan itu membuat saya bisa bertemu dengan orang-orang hebat yang berani berjuang sangat keras,  untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.


Salah satu pejuang itu bernama Pak Wito. Beliau tinggal di salah satu desa di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Sehari-hari, Pak Wito berjuang menafkahi anak dan istrinya dengan berjualan pentol keliling.


Pak Wito sosok yang sangat sederhana. Cara bicaranya halus dan sangat sopan. Di wajahnya, banyak kerutan-kerutan yang menandakan usianya tak lagi muda. Ditambah lagi, rambutnya sudah banyak yang memutih. Beliau tinggal di rumah yang apa adanya. Beberapa bagian rumahnya masih berdinding anyaman bambu. Lantai dapurnya hanya beralaskan tanah tanpa keramik ataupun plester. Kompornya, adalah tungku dari tanah liat yang mendapatkan nyala api dari kayu bakar.


Waktu saya berkunjung ke rumah beliau, Pak Wito sedang sibuk menata dagangannya. Rombong pentolnya yang berwarna tosca ia letakkan di sebuah motor bebek warna hitam. Di sisi kanan rombong ada sebuah dandang berukuran sedang tempat Pak Wito menjaga pentol dagangannya tetap hangat. Di sebelah kiri rombong, nangkring sebuah termos tempat beliau menjaga es lilin bikinan istrinya tetap dingin. Di antara dandang dan termos, Pak Wito meletakkan saos, kecap, sambal dan tusuk pentol yang beliau buat sendiri dari potongan bambu.


Apa yang saya lihat hari itu, maksud saya rombong dan motor itu, adalah sebuah hal yang berbeda dari Pak Wito. Rombong dan motor itu adalah rezeki dari Allah untuk beliau agar beliau semakin bersemangat menafkahi anak dan istri. Sebelumnya, Pak Wito berjualan keliling dengan peralatan yang apa adanya.  Kendaraan yang beliau gunakan untuk berkeliling adalah sebuah sepeda jengki tua yang sudah berkarat di sana sini, dan bannya mudah kempes. Rombongnya ia buat sediri dari kayu bekas. Bukan rombong tertutup seperti saat ini. Tapi benar-benar cuma kayu yang beliau bentuk persegi panjang kemudian dibagi menjadi 3 bagian. 


Bagian kanan diisi panci yang sudah tak karuan bentuknya. Di dalam panci itulah ia meletakkan pentolnya. Tutup panci itu sudah longgar. Beliau menambahkan tali dari karet bekas agar tutup pancinya tak jatuh saat ia mulai mengayuh sepeda tuanya. Kemudian di sisi kiri, ada sebuah ember cat bekas yang tulisan merknya sudah mulai hilang. Bukan, Pak Wito bukan pedagang cat. Ember cat itu ia letakkan di situ sebagai wadah es lilin buatan istrinya.


Dengan sepeda jengki itu, Pak Wito hanya bisa keliling kampung yang ada di sekitaran rumahnya saja. Itupun hanya satu kali keliling karena tenaganya yang sudah tak sekuat saat ia masih muda. Hal ini tentu berpengaruh pada penghasilan yang ia dapat. 


Alhamdulilah, dengan hadirnya motor dan gerobak baru, Pak Wito bisa berkeliling lebih jauh. Satu hari beliau bisa dua kali keliling. Pagi dan sore. Kalau pagi beliau keliling kampung dan sekolah-sekolah. Sementara sore beliau keliling di TPA-TPA.


Sore itu, saya ikut Pak Wito berjualan di TPA. Beliau berangkat sebelum ashar. Padahal anak-anak baru mulai mengaji setelah ashar. Ternyata beliau memang sengaja berangkat sebelum ashar agar bisa menjadi muadzin di musholla yang ada di lokasi yang sama dengan TPA tersebut. Kata orang terdekat Pak Wito. Beliau memang sudah bertahun-tahun Istiqomah menjadi muadzin di musholla itu. Tak hanya saat ashar tapi juga saat dzuhur dan magrib.


Sore itu, ada sebentuk kebahagiaan yang tak bisa saya jelaskan saat melihat Pak Wito dikerubuti murid-murid TPA yang baru selesai mengaji. Mereka berebutan, saling mendahului untuk mendapatkan pentol Pak Wito. Laki-laki tua itu dengan sabar meladeni pelanggan ciliknya. Hingga tak terasa dandangnya sudah kosong.


Saat magrib tiba, Pak Wito kembali adzan. Kami kemudian sholat bersama-sama. Dan setelah sedikit ngobrol, saya dan teman-teman pamitan kepada beliau. Pak Wito merangkul saya dengan erat. Rangkulan seorang Bapak kepada Anaknya. Dari rangkulannya itu saya dapat merasakan ketulusan beliau. Juga kejernihan hati beliau.


Bagi saya, Pak Wito adalah pejuang masa kini yang sebenarnya. Beliau mengerahkan segala apa yang ia miliki demi rezeki anak dan istri. Beliau adalah sosok yang merdeka. Tak bergantung pada siapa pun untuk menjadi dirinya hari ini kecuali pada Allah semata. 


Pak Wito adalah keberanian menjalani hidup dengan jujur meskipun situasi tak mudah. Pak Wito adalah ketabahan menerima dan ketidakputusasaan meminta pada Sang Maha. 

Comments