Ini adalah tahun ketiga, kerjasama antara kantor tempat saya bekerja dengan sebuah koperasi syariah yang ada di wilayah Jabung, Malang. Koperasi ini, menaungi para peternak dan petani. Tepatnya peternak sapi perah dan petani tebu. Tahun pertama kerja sama, saya belum terlibat karena baru bergabung dan sedang berada pada masa training. Tahun kedua, kami 2 hari berada di sana untuk sebuah project pemotretan. Dan kemarin, kami 4 hari menetap di Jabung untuk project pemotretan lagi.
Kami tiba di Jabung Selasa, pukul 9 malam. Setelah memberi tahu kedatangan kami kepada security koperasi, kami langsung diarahkan ke sebuah rumah kos yang tak jauh dari lokasi kantor koperasi.
Pemilik rumah kos ini adalah seorang ibu yang kira-kira berusia 60-an. Kami memanggil beliau, Mbah. Mbah, tinggal di rumah tersebut bersama suami dan Mas Budi, anak pertamanya yang sudah menikah dan memiliki dua orang anak.
Sama seperti ibunya, Mas Budi adalah sosok yang sangat ramah. Beliau sering ikut duduk dan ngobrol-ngobrol di depan kamar kami. Dari obrolan itulah saya tahu bahwa Mas Budi dulunya bekerja di beberapa Mall di Surabaya. Sebelum pada akhirnya memutuskan membuka warung nasi goreng dan bakso di teras rumahnya sendiri.
Interaksi pertama saya dengan Mas Budi tampak sangat kikuk. Mas Budi menawari saya rokok. Bagi sebagian laki-laki, menawari rokok adalah cara terbaik memulai pertemanan. Jika yang ditawari berkenan mengambil rokok itu maka suasana akan lebih cair. Tapi jika sebaliknya, bisa saja obrolan yang terjadi hanyalah basa-basi. Atau malah si pemberi merasa tersinggung karena niat baiknya tak disambut. Beruntung, Mas Budi adalah orang yang mengerti. Meskipun rokok yang ia sodorkan pada akhirnya hanya tergeletak di meja, ia tetap menunjukkan sikap bersahabat.
Selama empat hari berada di kosan, Mbah menjamu kami dengan sangat baik. Pada malam pertama kami datang, beliau langsung menyediakan dua gelas kopi untuk dua kawan saya dan segelas teh hangat untuk saya. Subuh sekali, sepiring pisang goreng lengkap dengan kopi dan teh sudah tersedia di meja depan kamar kami. Selepas kami mandi dan berganti pakaian, sarapan pun sudah tersaji.
Kami biasa sarapan dan makan malam di ruang makan rumah utama si Mbah. Diiringi dengan suara dari radio lawas yang selalu memulai siaran dengan lagu Indonesia Raya, kemudian dilanjutkan dengan lagu religi yang biasanya langsung disambung dengan tausiyah keagamaan, saya merasakan nuansa sarapan dan makan malam yang begitu hangat. Kehangatan itu kadang menjadi semakin hangat ketika si Mbah menemani kami makan sambil menceritakan betapa bahagianya beliau bisa menjalankan umroh. Atau betapa antusiasnya beliau ketika rumah kosnya ditempati 25 mahasiswa yang sedang PKL di koperasi syariah klien kami tersebut. Si Mbah kadang juga menceritakan masa lalunya. Dengan sorot mata yang mengenang, Mbah bercerita bahwa dulu beliau adalah penjual mie ayam. Dari tahun 70-an. Dari harga semangkok mie ayam masih 400 rupiah sampai jadi 4000 rupiah.
Dalam obrolan-obrolan sambil makan itu, tak jarang Mas Budi juga ikut bergabung. Beliau banyak bertanya soal dunia fotografi, kerjasama kami dengan koperasi, bercerita soal anak-anaknya, hingga obrolan soal demonstrasi yang terjadi di mana-mana.
Hari kedua, kami berangkat lebih pagi. Pukul setengah 6 kami sudah hendak berangkat menuju lokasi foto di sebuah persawahan. Tapi si Mbah, melarang kami berangkat. Ia bilang kami harus sarapan dulu. Sarapan sudah disiapkan. Kami pun menurut apa kemauan si Mbah. Sarapan yang sudah disiapkan kami makan. Kopi dan teh bergegas kami habiskan. Dan pisang goreng yang masih hangat, kami masukkan ke kantong kresek untuk kami makan di mobil.
Jumat pukul 6 sore, semua agenda kami di Jabung sudah selesai. Kami bergegas merapikan barang bawaan lalu bergantian mandi untuk segera kembali ke Surabaya. Sebelum kami berangkat, si Mbah meminta kami untuk makan malam terlebih dahulu. Sebelum kami usai makan, kami bertukar nomor telepon dengan Mas Budi. Ya, Mas Budi tak bisa menemani kami sampai selesai makan, karena harus bergegas datang ke acara pengajian.
Sekira pukul 8 malam, setelah semua barang bawaan masuk ke mobil, kami pamitan ke Si Mbah. Mata beliau berkaca-kaca ketika kami mencium tangannya.
"Dungone Mbah e sehat terus ya mas. Ben mene nek sampean mrene maneh, Mbah iso ketemu neh."
"Amiin, Mbah. Mugi penjenengan sehat, panjang umur. Nyuwun pandungane Mbah, mugi kerjasama kaleh koperasi Niki saget terusan, kersane saget niliki Mbah, sering-sering."
Senang sekali bisa bertemu orang-orang seperti Mbah dan Mas Budi. Juga teman-teman di Jabung lainnya yang sangat ramah dan baik hati. Perjalanan ke Jabung itu, pada akhirnya bukan hanya perjalanan bisnis, tapi perjalanan silaturahim. Ya, perjalanan silaturahim yang begitu hangat. Kehangatan yang membuat udara dingin Jabung tak begitu menusuk tulang.
Comments
Post a Comment