Sedari kecil, saya hanya mengenal satu jenis olahraga: Sepak bola. Ya, hanya sepak bola satu-satunya olahraga yang saya mainkan, perhatikan, dan hafalkan satu persatu nama pemain, nama tim dan jadwal pertandingannya. Tidak pernah ada olahraga lain di hidup saya waktu itu. Sesekali memang saya berenang. Tapi itu hanya untuk kebutuhan nilai pelajaran di sekolah saja. Sesekali saya juga main kasti. Tapi saya tak pernah benar-benar bisa mengayunkan tongkat kasti dengan benar. Praktis, hanya sepak bola yang benar-benar saya tekuni.
Waktu itu, sepak bola bukan sekadar permainan buat saya. Ia bahkan sudah menjelma menjadi cita-cita. Saya membayangkan, pastinya bangga sekali mengenakan jersey merah dengan lambang garuda di dada. Dan demi mengejar cita-cita itu, saat kelas 5 SD saya meminta kepada ayah untuk bisa berlatih di SSB dekat rumah. Permintaan dikabulkan. Jersey SSB saya berwarna hijau. Saya pilih nomor punggung 8 seperti tanggal kelahiran saya. Jadwal latihan seminggu dua kali. Rabu sore dan Minggu pagi.
Hari-hari pertama di SSB itu saya berlatih di lapangan kecil. Ya, setiap anak baru memang tidak boleh langsung main di lapangan utama yang ukurannya sudah standar ukuran lapangan sepak bola profesional. Saya harus membuktikan diri terlebih dahulu di lapangan kecil, sampai pelatih menganggap saya pantas pindah lapangan.
Suatu sore pelatih mengadakan game internal. Kami dibagi jadi dua tim. Tim yang mengenakan rompi dan yang tidak. Saya masuk ke tim yang tidak mengenakan rompi. Dipertandingan itu saya berhasil menyumbang satu gol untuk tim. Saya tak ingat lagi apakah tim saya menang atau kalah. Tapi yang saya ingat jelas, gol saya diapresiasi pelatih. Beliau akhirnya mengizinkan saya pindah ke lapangan besar mulai sesi latihan minggu berikutnya.
Sayang, masa untuk saya bisa bersenang-senang di lapangan besar tak berlangsung lama. Saat itu saya dikhitan sehingga harus absen main bola dalam beberapa minggu. Selesai khitan, saya sempat sekali dua kali latihan dan ikut game internal di lapangan besar, sebelum akhirnya benar-benar berhenti latihan karena harus mengikuti persiapan ujian nasional. Ketika ujian nasional usai, saya masih terus bermain sepak bola meskipun sudah keluar dari SSB. Sejak masuk SMP hingga masa kuliah, saya tak lagi main sepak bola lapangan rumput. Teman-teman mengenalkan saya pada futsal, yang secara prinsip permainan tak jauh beda dari sepak bola lapangan rumput.
Tahun 2015, saya lulus kuliah. Kehidupan mulai banyak berubah. Termasuk juga kehidupan berolahraga. Main futsal jadi lebih sulit. Sulit untuk mengumpulkan setidaknya 10 orang agar bisa terwujud sebuah pertindangan yang sesuai aturan. Ya, masa-masa itu teman-teman memang banyak yang sudah kembali ke kampung halaman masing-masing. Yang tersisa di Surabaya tinggal beberapa saja. Itu pun tak semuanya hobi main futsal.
Akhir 2019, di sebuah warung kopi di jalan Ketintang, setelah ngobrol ngalor-ngidul, topik obrolan akhirnya jatuh ke pembicaraan soal olahraga. Umur kami rata-rata sudah mendekati 30 tahun. Dan saat itu kami sudah cukup lama tak berolahraga. Badan jadi terasa tak enak. Cepat loyo. Cepat capek. Kami sepakat bahwa kami harus berolahraga. Setidaknya untuk mensiasati kondisi fisik yang sudah tak selincah saat masih kuliah. Kami pun memilih beberapa olahraga yang memungkinkan untuk kami lakukan. Syarat utamanya adalah tak butuh banyak orang untuk bisa dikerjakan. Maka, pilihannya jatuh ke dua jenis olahraga: Running dan badminton.
Yang awal kami lakukan adalah running. Tapi rasanya kurang seru juga karena cuma sedikit yang bisa ikut. Lalu kami mencoba menyewa sebuah lapangan badminton. Dan ternyata lebih banyak yang tertarik bergabung. Mulailah dari sini badminton menjadi olahraga rutin kami.
Saya masih ingat, raket pertama saya adalah Yonex KW seharga 115 ribu. Saat itu saya tak tahu kriteria raket yang bagus seperti apa. Saya beli raket Yonex KW itu hanya karena saya tertarik dengan warna dan motifnya. Tak ada pertimbangan berat raket, apalagi pertimbangan jenis raket yang sesuai dengan tipe permainan. Pikir saya, yang penting punya raket dan yang utama adalah bagaimana permainan kita, Raket hanya faktor penentu nomer sekian.
Setelah berdiri di lapangan dan beberapa menit bermain, saya menyadari bahwa pemikiran saya itu salah. Kombinasi kemampuan yang sangat pantas diragukan dan raket yang beratnya luar biasa, menjadikan saya menyerah jauh sebelum jam sewa lapangan berakhir. Saya lebih banyak jongkok di pinggir lapangan sambil menertawakan teman-teman yang tingkahnya sama konyolnya dengan apa yang telah saya perlihatkan.
Setelah hari pertama itu, kami mulai agak serius. Kami membeli raket yang lebih layak. Bukan yang terbagus tapi yang sesuai untuk kami. Dengan raket baru itu hasilnya memang sedikit berbeda. Permainan jadi sedikit agak lebih pantas disebut permainan. Ya meskipun kesalahan masih jamak terjadi, tapi setidaknya itu sudah jauh lebih baik dari hari pertama. Saya sendiri termasuk bukan yang paling jago di antara teman-teman yang lain. Bahkan bisa dibilang saya yang paling payah hahaha. Tapi saya terus mencoba dan merasa terus berkembang semakin baik di setiap permainan.
Semakin kesini, saya merasa badminton semakin menarik. Tidak kalah dengan serunya bermain sepak bola atau futsal. Sayang saat sedang begitu bersemangat, saya harus menahan diri untuk tidak main badminton sementara waktu karena pandemi yang terjadi sekarang ini. Saya rasa teman-teman juga merasakan hal yang sama. Beberapa kali sebagian mengajak untuk nekat ke lapangan. Tapi sebagian yang lain segera menyarankan untuk tidak ke lapangan terlebih dahulu demi keselamatan bersama.
Hari-hari ini raket saya lebih banyak saya simpan dalam tasnya. Sepatu saya cuci dan saya letakkan di kardusnya. Jersey saya lipat dan saya simpan di lemari. Nanti, jika pandemi sudah tak ada lagi, mereka akan saya keluarkan dari tempatnya masing-masing. Saya akan menuju ke lapangan lagi dan bergembira bersama teman-teman lagi.
Surabaya, 24 April 2020
Comments
Post a Comment