Semasa masih menjadi mahasiswa Sastra Indonesia, saya termasuk orang yang jarang membaca. Saya hanya akan membaca ketika ada tugas saja. Di mata kuliah sejarah sastra, kami diwajibkan membuat satu resensi novel setiap pertemuan. Di mata kuliah apresiasi prosa fiksi, kami wajib presentasi satu apresiasi novel setiap minggunya. Untuk dua mata kuliah itu sajalah saya membaca. Lain itu, sama sekali tidak.
Kesadaran membaca justru tumbuh ketika saya memasuki semester terakhir. Ketika skripsi hampir selesai dan sudah tidak ada lagi kegiatan di kampus, membaca adalah cara saya mengisi waktu. Awalnya saya membaca buku apa saja yang saya temukan di kontrakan. Lama kelamaan, saya mulai punya keinginan membeli judul buku tertentu dan dari sanalah petualangan membaca saya bermula.
Saya masih ingat betul, buku pertama yang saya beli adalah Novel Ayu Utami yang berjudul "Cerita Cinta Enrico". Sayang, buku itu tak bertahan lama di tangan saya. Ketika mengurus surat bebas pinjaman di perpustakaan kampus sebagai syarat wisuda, buku itu jadi salah satu buku yang saya tinggal di rak perpus agar bisa dibaca banyak orang.
Setelah novel Ayu Utami itu, saya cukup lama jeda membeli buku. Barulah setelah wisuda dilaksanakan, saya kembali berburu bacaan. "Markesot Bertutur" karya Emha Ainun Najib yang mengawalinya. Buku ini sudah saya buru sejak lama. Ketika saya menemukannya di togamas, buku ini tinggal satu, bungkusnya sudah terbuka dan kertasnya mulai menguning. Saya tanya ke petugas togamas ternyata buku itu memang tinggal satu-satunya di toko itu. Maka saya pun segera membawanya kasir.
"Markesot Bertutur" membawa saya berpetualang menyelami tulisan-tulisan Cak Nun lainnya, mulai dari "Jejak Tinju Pak Kyai", "Indonesia Bagian Dari Desa Saya", "Gelandangan di Negeri Sendiri", "Tuhan pun Berpuasa" dan masih banyak judul lain.
Selesai dimabuk esai ala Cak Nun, saya mengalihkan pandangan ke buku-buku fiksi. Eka Kurniawan saya pilih dengan karyanya "Cantik Itu Luka". "Cantik Itu Luka" yang saya punya, masih cover lama. Gambar seorang wanita yang tertidur di kasur berwarna serba putih dengan baju serba putih pula.
Selesai "Cantik Itu Luka" saya meneruskan petualangan bersama Eka Kurniawan dengan membaca karya lainnya "Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas". Sebuah novel yang tak kalah hebatnya dengan karya Eka yang saya sebut pertama. Setelah itu saya masih menekuni karya Eka lainnya mulai dari "Corat-coret di Toilet", "O" hingga "Lelaki Harimau".
Gaya tulisan Eka membawa pengaruh pada selera bacaan saya. Saya jadi senang dengan gaya tutur ala Eka dan setiap mencari buku baru saya akan mencari yang gayanya mirip-mirip dengannya. Untuk ini saya kemudian menemukan Yusi Avianto Pareanom dengan "Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi". Novel ini sangat khas. Gaya tuturnya, ceritanya, bagi saya seru bukan main. Tak kalah seru dari karya-karya Eka.
Setelah membaca prosa, saya kemudian mencoba beralih kepada puisi. Saya jatuh cinta kepada puisi-puisi Joko Pinurbo. Saya selalu suka tulisan-tulisan yang memendam bom waktu di bagian-bagian tertentu. Dan puisi-puisi Jokpin selalu meledak tepat di bagian-bagian yang saya harapkan.
Di tengah rajin-rajinnya membeli dan membaca buku, saya mulai dihinggapi rasa bosan dengan buku-buku yang ada di toko buku populer. Saya mencoba mencari alternatif. Sebenarnya proses pencarian itu sudah dimulai sejak saya membaca karya-karya Yusi Avianto Pareanom. Ya, buku-buku paman Yusi memang diterbitkan oleh penerbit indie dan demi buku indie inilah saya mulai rajin berbelanja buku secara daring.
Saya punya toko buku daring favorit. Toko buku ini ada di Jogja dan identik dengan karikatur anak muda bertopi hijau dengan bintang merah di bagian depan topi tersebut. Koleksi di toko buku ini cukup lengkap. Buku terbitan penerbit besar maupun indie, baru ataupun lama, bisa kita temukan dengan cukup mudah.
Dari waktu ke waktu koleksi buku saya semakin bertambah. Berbagai judul dan tema dari nama kawakan hingga karya baru penulis muda, saya koleksi di rak buku saya. Buku-buku itu tak semuanya selesai saya baca. Ada juga buku yang sama sekali belum sempat terbaca. Buku Azhari Aiyub "Kura-kura Berjanggut" sejak 2018 sudah saya tekadkan harus selesai terbaca di semester pertama 2019. Tapi hingga hari ini, novel setebal 900-an halaman yang konon ditulis dalam waktu 10 tahun itu, baru saya baca beberapa lembar awalnya saja.
Hari-hari ini saya memilih agak mengurangi membeli buku. Bukan karena saya tak hendak membaca lagi, tapi karena saya khawatir saya terkena tsundoku (memiliki banyak buku tapi tak pernah membacanya). Maka jika hari ini saya ingin membeli buku, saya akan memberikan syarat kepada diri sendiri: baru boleh beli satu buku kalau sudah selesai membaca satu buku. Lagipula, semakin banyak buku di rak, bagi saya semakin berat beban di pundak. Buku-buku itu seperti jadi bukti betapa tak berdayanya saya sebagai sarjana sastra, yang cuma bisa membaca tanpa bisa mencipta.
Comments
Post a Comment