"Ambil wudhu, sholat. Kalau besok di papan pengumuman itu ada namamu, kita bikin tumpengan."
Saya masih ingat jelas, seperti itulah perkataan ayah pada malam sebelum hari pengumuman penerimaan siswa baru dilaksanakan. Dari perkataan beliau itu saya menangkap harapan sekaligus kekecewaan. Harapan atas pertolongan Allah. Juga kekecewaan karena beliau sadar kemungkinan untuk saya bisa diterima di sekolah negeri, sangat kecil.
Segala kekecewaan itu bermula dari nilai ujian nasional SMP yang saya dapatkan. Lebih jauh lagi semua bermula karena pola belajar saya yang kurang serius. Di ujian nasional SMP, nilai saya memang tidak bagus: Bahasa Indonesia 9, Matematika dan Bahasa Inggris 9 terbalik. Praktis total nilai ujian nasional saya tidak sampai 22. Yang itu artinya saya akan kesulitan untuk bersaing merebut satu tempat di jurusan yang saya inginkan: Desain grafis.
Ya, sedari kelas 8 SMP saya memang sudah memutuskan ingin masuk jurusan desain grafis di salah satu SMK yang letaknya ada di belakang sekolah SMP saya. Waktu itu sebenarnya saya tidak terlalu tahu soal desain grafis. Tapi mendengar namanya, saya merasa lulusan jurusan ini akan banyak dibutuhkan dunia kerja di masa depan. Sedang soal kenapa saya memilih SMK itu, saya punya dua alasan: Pertama, ia sekolah favorit. Kedua, dekat dari rumah.
Ketika nama saya benar-benar tak ada di kertas pengumuman, saya menjadi limbung. Tidak tahu mau memilih sekolah yang seperti apa untuk menggantikan sekolah yang telah gagal saya dapatkan. Seketika itu, saya tak ingin lagi masuk jurusan desain grafis. Nama jurusan itu, di mata saya tiba-tiba berubah menjadi tembok tinggi yang tidak akan pernah bisa saya gapai ujungnya.
Malam harinya, ayah bertanya sekolah seperti apa yang saya inginkan. SMA atau SMK lagi? Kalau SMK jurusan apa? Saya tak menjawab langsung. Saya ingin tahu langkah apa yang dilakukan oleh teman-teman yang senasib dengan saya. Saya tanya mereka satu per satu. Jawaban mereka sama. Mereka akan tetap memilih di SMK. SMK teknik tepatnya. Seketika saya mendapatkan ide. Saya pikir SMK teknik bukan pilihan buruk. Maka tak perlu menunggu lama, keesokan harinya saya berangkat mendaftar di sekolah yang sama dengan yang dipilih teman-teman.
Jurusan otomotif akhirnya saya pilih untuk menggantikan jurusan desain grafis yang gagal saya dapatkan. Pertimbangannya, tahun-tahun itu modifikasi motor sedang ramai-ramainya. Di jalanan dengan mudah kita bisa menemukan motor yang sudah dimodifikasi dengan aneka macam variasi. Saya yang masih sangat hijau saat itu, membayangkan, sepertinya akan seru kalau saya bisa mengubah motor biasa menjadi motor yang memiliki keindahan tertentu.
****
Hari pertama masa orientasi siswa baru tiba. Rasanya ganjil dan sedikit agak aneh. Ganjil karena satu sekolah isinya siswa laki-laki semua. Aneh karena sekolah kami tidak melakukan hal yang umum dilakukan kepada siswanya saat masa orientasi siswa baru. Kami tidak diminta membuat topi dari bola plastik, memakai papan nama besar di dada dan hal lain yang saat itu dikerjakan oleh teman-teman saya dari sekolah lain. Meskipun sejujurnya saya senang dengan kebijakan itu karena saya tak perlu repot menyiapkan hal-hal yang tidak perlu, tapi tetap saja ada perasaan yang tidak biasa yang saya rasakan.
Bersekolah di sekolahan yang 100 % muridnya laki-laki adalah situasi yang sangat berbeda. Saya harus membiasakan diri dengan kehidupan yang lebih "keras" daripada sebelumnya. Tidak, saya tidak ingin mengatakan setiap hari kehidupan kami dikelilingi kekerasan, Tapi sekali dua kali hal itu memang terjadi dan tidak bisa dielakkan. Di satu waktu kami bisa saling melempar guyonan dan tertawa bersama. Tapi di waktu lain helm dan kaca spion lah yang akan kami lempar ke kepala seorang teman yang membuat kami kesal.
Di luar itu, situasi belajar mengajar sebenarnya berjalan menyenangkan. Sekolah kami punya satu unit mobil kijang tua yang sudah didesain sedemikian rupa agar bisa kami utak-atik. Di semester awal kami hanya diperbolehkan mengutak-atik ban. Ya, kami belajar memasang dongkrak, melepas ban dan memasangnya kembali. Setelah itu kami kuasai barulah kami diajari soal kelistrikan mobil. Teori diajarkan beberapa kali. Di kelas kami ada beberapa papan yang di papan tersebut berisi kabel, saklar dan lampu-lampu mobil. Berjam-jam kami menghadap papan tersebut. Mencari kabel yang benar, menyambungkannya ke saklar yang tepat agar lampu yang ingin kami nyalakan bisa menyala dengan benar. Beberapa kali kami gagal. Ingin menyalakan lampu sein, tapi salah menyambungkan kabel, sehingga sein menyala tapi tak berkedip.
Setelah papan itu kami kuasai barulah kami kembali ke kijang tua. Suatu sore guru praktik meminta kami menghidupkan kembali kelistrikan kijang tua yang sudah lama mati itu. Kami dibekali sebuah accu dan peralatan lain yang dibutuhkan. Kami kerja berkelompok diselingi dengan sedikit guyonan. Saat sedang asyik bergurau kami tak sadar salah satu ujung kabel accu yang sudah tersambung, menempel di rangka besi kijang tua. Satu ledakkan kecil pun terdengar. Tak lama kemudian asap putih memenuhi bengkel praktik kami.
Di sekolah, saya tidak terlalu aktif. Bahkan ketika guru olahraga mengizinkan kami bermain sepak bola (olahraga favorit saya sebelum mengenal badminton) saya tak pernah ikut main. Terlalu banyak yang ingin main. Bayangkan, kelasmu berisi 40 siswa yang semuanya adalah laki-laki yang gemar sepak bola. Sementara jam olahraga tak sampai dua jam. Daripada menunggu giliran yang tak tentu kapan, saya pun lebih memilih jadi penonton.
Soal teman sekelas, saya banyak mendapat teman baik. Tak sedikit juga yang unik. Kadang ada salah satu teman yang lama tidak terlihat di kelas. Kemudian guru mengabarkan bahwa teman saya ini memiliki masalah hukum setelah terlibat kasus pembobolan warung. Di lain waktu ada teman lain yang lama menghilang kemudian kembali lagi setelah punya tato di lengannya, dan menghilang lagi saat ujian nasional tiba. Usut punya usut ternyata kawan saya ini lebih memilih jadi kernet supir truk daripada menyelesaikan sekolahnya.
Tiga tahun di sekolah itu adalah tiga tahun yang tidak pernah saya duga. Lingkungannya, pembelajarannya, kawan-kawannya, sungguh berbeda. Banyak hal baru yang saya dapat. Yang mungkin juga bepengaruh pada cara pandang saya saat ini.
Di akhir masa sekolah, saya memutuskan untuk berhenti dari keinginan jadi modifikator. Saya merasa kurang cocok. Lagipula di sekolah tak diajarkan soal modifikasi. Hanya servis dan perawatan. Tapi saya tak menyesal. Saya yakin setiap apapun yang digariskan Tuhan menjadi takdir saya, pasti akan berguna bagi saya, cepat atau lambat.
Surabaya, 08 Mei 2020
Comments
Post a Comment