Kontrakan Ambruk

Kami cukup lama tinggal di kontrakan baru. Hampir dua tahun. Meskipun semakin lama wujudnya semakin mirip kapal pecah, tapi kami tetap krasan berlama-lama tinggal di kontrakan tersebut.

Di kontrakan tersebutlah kami melakukan banyak aktivitas. Mulai dari menyiapkan tugas kuliah, membuat musikalisasi puisi, membuat properti drama, hingga main bola. Ya, kami main bola di dalam kontrakan. Bukan main bola dengan dua gawang lazimnya pertandingan bola. Tapi semacam bowling. Kami menjajarkan botol-botol di ujung kontrakan. Lalu kami mengambil jarak menghadap botol-botol tersebut, dan menendangnya sambil menutup mata. Siapa yang gagal menjatuhkan seluruh botol itu, maka dia harus push up.

Tak hanya main bola, Odos bahkan pernah menyalakan petasan di dalam kontrakan saat ia marah kepada Opey yang telah mengganggu tidurnya. Hal yang pada akhirnya membuat Odos mendapat peringatan keras dari pemilik kontrakan.

Kontrakan itu, kami beri nama Mabes Alay. Kenapa Mabes Alay? Karena dulu sewaktu kami kemping di Sempu dengan teman-teman dari Malang, mereka kaget dengan kebiasaan kami yang pagi-pagi sudah ada di tepi pantai dengan kertas dan bolpoin, lalu tak lama kemudian berdiri sambil membacakan keras-keras puisi kami. Bagi mereka itu adalah sebuah tindakan yang sangat alay 😁.

Saya dan Osen membuat tulisan Mabes Alay di kontrakan. Kami memotong huruf demi huruf dari banner bekas. Setelah huruf itu lengkap membentuk kata Mabes Alay, kami menempelkannya di dinding ruang tamu kontrakan. Mabes Alay bukan cuma tempat tidur, di situ jugalah kami menerima tamu, teman-teman jurusan sastra dari kampus luar kota maupun luar pulau yang ingin tahu geliat sastra mahasiswa di kampus kami.

Kami sebenarnya ingin terus bersama-sama di Mabes Alay sampai lulus. Namun sebuah peristiwa menggagalkan keinginan  tersebut.

***

Pagi itu hujan deras mengguyur Surabaya. Saya harus berangkat kuliah tapi jas hujan tak ada di jok motor. Akhirnya saya memutuskan berangkat kuliah dengan celana pendek dan kaos. Hujan-hujanan. Pikir saya, saya tak akan langsung ke kampus, saya akan mampir ke kontrakan dulu untuk mandi dan ganti baju.

Maka itulah yang saya lakukan. Sampai di kontrakan saya langsung mandi, ganti baju dan menjemur pakaian yang saya kenakan untuk hujan-hujanan tadi. Setelah semua beres barulah saya berangkat ke kampus.

Hari itu kami kuliah sampe sore. Sepanjang hari hujan tak juga reda. Sampai kami kembali ke kontrakan pun hujan belum benar-benar berhenti. Barulah sekira pukul 7 malam hujan berhenti. Saya sudah siap-siap pulang saat tiba-tiba Darma meminta ditemani ke mall untuk beli baju. Saya mengiyakannya dengan syarat saya bawa motor sendiri agar bisa langsung pulang karena mall tujuannya ada di dekat rumah saya. Tapi Darma tak setuju dengan usul saya. Dia ingin kami berboncengan saja. Dan setelah beli baju ia mengajak saya untuk menginap di kontrakan. Saya pun mengalah dan menuruti apa mau Darma.

Sekira pukul setengah 10 malam, saya dan Darma sudah kembali ke kontrakan. Di kontrakan saat itu lumayan sepi. Hanya ada saya, Darma, Bongol, Zeus dan Lumpur.


Menjelang pukul 11, Bongol meminta kami memasukkan motor ke dalam kontrakan karena sehari sebelumnya, motor Icol hampir saja digasak orang. Beruntung, Osen yang baru pulang dari warnet melihat orang tersebut dan segera memberitahu kami yang ada dikontrakan. Kami mengejar orang itu. Sadar sedang dikejar, orang itu lari meninggalkan motor Icol.

Setelah urusan memasukkan motor beres, saya membuka laptop di ruang tamu. Sementara Darma, Bongol, Zeus dan Lumpur ketawa cekikikan di kamar depan. Tak lama  kemudian suara tawa mereka hilang. Saya duga mereka sudah tidur. Saya cek benar saja mereka sudah tidur lelap. Cuma Zeus yang masih melek. Ia pindah ke kamar belakang. Sementara Darma, Bongol dan Lumpur tetap di kamar depan.

Saya yang juga sudah mulai mengantuk, segera mematikan laptop dan bergegas masuk ke kamar belakang. Sudah kebiasaan saya, sebelum tidur selalu memasang musik terlebih dahulu untuk membantu saya lebih cepat terlelap.

Saya belum sempat benar-benar tertidur saat sebuah batu kecil jatuh melubangi plafon dan mengenai badan saya.

"Lho Ceng, kok onok watu lugur teko nduwur?" tanya Zeus.

"Gara-gara tikus lagi uber-uberan paling," ucap saya cuek.

Tak lama kemudian satu batu lagi yang ukurannya lebih besar, jatuh ke kasur kami.

"Lho Ceng, onok maneh watune lebih gede," ucap Zeus lagi.

Sebelum saya sempat menjawab perkataan Zeus, dari atap, datang suara gemuruh yang luar biasa. Saya sempat melihat plafon runtuh. Kemudian lampu mati. Zeus berhasil bangkit. Ia mencoba menarik saya, tapi licin karena saat itu saya cuma mengenakan rompi futsal untuk tidur. Saya kemudian hanya bisa diam sambil berusaha melindungi kepala. Di kegelapan itu, saya bisa merasakan, kuda-kuda atap yang terbuat dari cor itu berjatuhan. Beberapa mengenai badan saya. Saya tak tahu seberapa besar batu yang mengenai badan saya. Tapi ketika reruntuhan itu mulai reda, saya bergegas berdiri.

Ketika saya berhasil menggapai pintu kamar, Zeus masih berdiri terpatung di depan pintu. Matanya berair. Ia khawatir hanya ialah yang selamat dari reruntuhan atap itu. Tetapi demi melihat saya yang masih selamat, ia bergegas berteriak:

"Mlayu Ceng! Mlayu mengarep!"

Kami bergegas menuju ruang tamu. Tapi kemudian saya ingat bahwa di kamar depan ada Bongol, Darma dan Lumpur.

"Arek-arek, gugahen sek. Arek-arek kamar ngarep!"

Kami kembali berteriak. Alhamdulilah mereka bertiga selamat. Darma adalah orang yang beruntung. Ada kayu besar yang melintang di atasnya. Kemudian diikuti papan. Sehingga reruntuhan atap, jatuh di papan itu tak sampai mengenai dirinya.

Suasana serba gelap. Kami mencari kunci kontrakan tapi tak ketemu. Zeus sudah mengangkat kursi,  hendak ia hantamkan ke kaca jendela depan. Beruntung Lumpur bisa menguasai keadaan. Ia berhasil membuka pintu.

Ketika pintu kami buka, asap reruntuhan  mengepul tebal di depan pintu. Ketika asap itu mulai menghilang, kami melihat para tetangga sudah berkerumun di depan kontrakan.

Kami kemudian diberi air putih. Saat minum itu saya sadar, sayalah satu-satunya yang terluka karena tertimpa reruntuhan. Kepala, kaki dan punggung saya terluka. Sedang teman-teman yang lain alhamdulilah mereka selamat tanpa satu pun luka.

Setelah itu kami menghabiskan malam di teras rumah tetangga. Teman-teman membantu mengobati luka-luka saya. Sementara yang lain menghubungi penghuni kontrakan lainnya yang sedang begadang di kantor BEM.

Saat suasana kami kira sudah cukup aman, kami kembali masuk ke kontrakan. Mengeluarkan motor-motor kami dan barang-barang lainnya. Motor kami selamat. Tapi laptop Darma hancur tertimpa batu cor kuda-kuda atap.

Pagi harinya, saya kembali masuk ke kontrakan. Atap kamar depan sampai dapur benar-benar habis. Batu-batu cor besar jatuh ke lantai. Saya benar-benar beruntung, yang mengenai saya adalah batu yang kecil-kecil saja.

"Bersyukuro. Uripmu saiki kesempatan kedua. Coba watu sing gede iku sing kenek ndasmu. Opo nggak buyar?" kata Bongol kepada saya, saat kami berdua melihat kamar belakang tempat saya dan Zeus tidur pada malam hari saat kejadian itu berlangsung.

Siang harinya Mbak Sum kembali merawat luka-luka saya. Dan ketika pemilik kontrakan lewat, Mbak Sum segera nyeletuk:

"Mbak Lis, iki lho Ceng luka, ketiban cor atap omahe sampean mau bengi."

"Halah gak popo, Ceng kuat kok. Gak popo ya Ceng," jawab pemilik kontrakan sambil berlalu tanpa melihat luka saya sedikit pun. Saya cuma tersenyum kecut. Menahan emosi yang luar biasa. Sikapnya yang sama sekali tak menunjukkan empati itu benar-benar membuat saya kehilangan rasa hormat kepadanya. Kami menempati rumahnya dengan membayar. Tak pernah telat membayar. Tapi ketika rumah yang membuatnya mendapatkan uang itu hampir membunuh kami, ia berlagak seperti kejadian itu bukan apa-apa.

Setelah Mabes Alay ambruk. Kami tak lagi tinggal seatap. Kami semua menyebar mencari kos-kosan baru. Saya masih ingat, waktu itu Osen mengirim pesan siaran kepada kami semua. Bunyi pesannya terdengar sedikit iseng, tapi saya rasa ada benarnya juga:

"Mungkin memang sudah waktunya kita tak selalu bersama-sama. Kalau kita terus sama-sama, kapan bisa tahu rasanya kangen? Sekarang kita mencar dulu. Toh di kelas kita tetap ketemu. Juga di warung kopi."

Maka pesan itulah yang mengakhiri kebersamaan di Mabes Alay. Setelah lulus, saya sempat menengok Mabes Alay. Rumah itu sekarang tampak lebih rapi. Meja billiard nya sudah hilang berganti dengan dua kursi dan satu meja kecil. Kata Mbak Sum, rumah itu dikontrak sepasang suami istri paruh baya.

Gagal tinggal bersama-sama di Mabes Alay sampai lulus, memang meninggalkan sedikit rasa sedih. Tapi yang bikin saya paling sedih adalah, ternyata semenjak kami tak lagi tinggal di rumah itu, Mbak Sum menutup warungnya. Tak ada lagi pembeli. Warung mbak Sum memang letaknya sangat di dalam gang. Tak banyak orang yang tahu. Kamilah pelanggan utamanya. Maka ketika kami terpaksa pindah, dan anak-anak di kosan depan telah lulus, penjualan beliau menurun drastis hingga akhirnya beliau terpaksa menutup warung yang sudah sangat lama ia rawat itu.

Beberapa bulan lalu, saya sempat mengunjungi rumah Mbak Sum. Beliau membuatkan saya mie instan persis dengan yang sering saya pesan di warungnya dulu: Indomie, tambah mie kriting satu, tambah cabai yang dipotong kecil dan tak lupa telur dadar. Alhamdulilah, sekarang beliau bekerja sebagai petugas kebersihan di kampus kami. Saya turut bahagia kini beliau kembali ada sumber pemasukan.

Menjelang magrib, saya pamit undur diri dari rumah Mbak Sum. Sebelum pulang, beliau banyak menyampaikan nasihat, layaknya seorang kakak kepada adiknya. Tak lupa beliau juga menyampaikan pesan yang selalu diucapkannya setiap kami bertemu:  "Nek wes oleh ijole sing biyen, kenalno aku ya. Terus nek rabi, ojok lali aku diundang. Wes, ojok kakean pilih-pilih. Pokok arek e apik gelem nrimo awakmu, wes ndang dibudalne."

Saya lagi-lagi cuma bisa senyum, lalu segera menarik gas motor  sebelum Mbak Sum tanya-tanya lebih banyak soal itu.... 😆



Comments