Kuliah Menulis di Songgoriti

Salah satu mata kuliah yang harus saya dan teman-teman di sasindo tempuh adalah mata kuliah penulisan kreatif. Bobotnya lumayan, 4 SKS. Mata kuliah ini diampu oleh seorang cerpenis, sebut saja namanya Pak We.

Pak We adalah sosok yang unik. Setiap kali mengajar, beliau akan membawa tape lengkap dengan kaset pitanya. Tape itu beliau letakkan di depan kelas, di bawah papan tulis. Lalu, beliau akan memasukkan kaset pita itu ke dalam tape. Dan tak lama kemudian suara gamelan Bali memenuhi ruang kelas kami.

Cara beliau mengajar pun berbeda dari kebanyakan dosen. Beliau, biasanya akan memulai kelas dengan sebuah kalimat: "Saya sudah menganggap kalian semua seniman. Maka saya tidak akan membicarakan teori menulis di kelas ini." Setelah kalimat itu diucapkan, sepanjang jam perkuliahan beliau akan bercerita tulisan siapa saja yang baru beliau baca dan bagaimana istimewanya tulisan tersebut. Tanpa diminta pun kami mengerti bahwa beliau ingin kami juga membaca tulisan yang beliau baca, agar kami bisa mengembangkan kemampuan menulis melalui pelajaran yang kami dapatkan dari tulisan itu. Cara belajar inilah yang kemudian terus saya pakai sampai hari ini. Saya termasuk orang yang abai teori. Dan lebih senang belajar menulis dari tulisan-tulisan karya orang lain.

Menjelang akhir semester, Pak We memberitahu kami, bahwa kami harus mengadakan kuliah menulis di luar kelas. Menepi dari bisingnya Surabaya. Pak We juga mengabarkan kepada saya --yang waktu itu jadi ketua kelas-- syarat-syarat lokasi yang boleh kami jadikan tempat kuliah menulis luar kelas. Syarat utama dari  beliau, tempat yang kami pilih haruslah tempat yang minim polusi. Bukan saja jauh dari polusi asap tapi juga jauh dari kandang hewan peliharaan. Bagi beliau, polusi bisa mengganggu proses masuknya ide ke otak.

Setelah beberapa kali rapat di kelas, maka kami sepakat memilih vila Kalendra, Songgoriti sebagai lokasi kuliah menulis luar kelas. Segera kami juga membentuk kepanitiaan dan bergerak menyiapkan segala hal yang diperlukan.

Hari H pun tiba. Kami berangkat dengan dua kendaraan: sebuah truk TNI dan satu bus mini. Malam sebelumnya, Pak We menelepon saya, memberi kabar bahwa beliau ada sedikit urusan di bank, tidak bisa ikut berangkat bersama kami dan akan segera menyusul ketika urusan di bank selesai.

Sekira pukul 11 siang, kami sudah sampai di vila. Ada dua vila yang kami sewa. Satu untuk pria dan satu lagi untuk wanita. Siang itu belum ada agenda kuliah menulis. Maka teman-teman bebas melakukan apa saja. Di vila wanita, saya lihat mereka sedang beristirahat. Sedangkan di vila pria, teman-teman langsung memanfaatkan fasilitas karaoke yang tersedia.

Pukul 4 sore, Pak We menelepon untuk mengabari bahwa beliau sudah ada di jalan masuk vila. Kami pun menjemput beliau dan segera mengantar beliau ke kamarnya. Setengah jam kemudian saya dan beberapa orang teman turun ke pasar Songgoriti mencari minuman hangat.

STMJ pesanan saya belum jadi ketika Pak We kembali menelepon dan mengatakan bahwa beliau butuh sandal japit dan pasta gigi. Saya menyanggupi membelikan dua barang tersebut. Tapi Pak We menolak, beliau malah meminta saya untuk tetap di pasar menunggu kedatangan beliau.

Setelah membeli dua barang yang beliau butuhkan, Pak We mengajak saya singgah di sebuah warung kopi. Di sana beliau menceritakan kepada saya, proses kreatif beberapa orang sastrawan. Tentu ini kesempatan yang langka. Yang tidak akan saya dapat di kelas. Mendengar cerita dari penulis hebat tentang penulis hebat lainnya, adalah sebuah pelajaran berharga.

Setelah pukul 7 malam, materi kuliah menulis dimulai. Acara dibuka dengan puisi. Lalu seperti biasa, Pak We menceritakan tulisan yang baru saja beliau baca. Beliau juga mengatakan, bahwa besok kami akan diajak meniru proses kreatif salah seorang pelukis yang saya lupa namanya. Menurut penuturan beliau, sebelum memulai melukis, pelukis ini akan berjalan berkilo-kilo meter dan akan langsung melukis ketika keringat di badannya belum mengering.

Keesokan paginya, pagi-pagi sekali, kami sudah berkumpul di depan vila untuk melaksanakan yoga. Pak We sendiri yang menjadi instrukturnya. Bubar yoga, kami mandi, sarapan dan bersiap untuk mencari ide dengan jalan kaki dari vila kami yang ada di belakang Pasar Songgoriti, sampai ke Paralayang, Gunung Banyak.

Pukul 9 kami sudah siap. Pak We memimpin di depan. Saya meminta Mas Rimba untuk menemani Pak We. Sedang saya memilih posisi paling belakang. Sambil membawa kamera milik Ela.

Icha tak bisa ikut perjalanan ini. Disusunan kepanitiaan dia dipilih jadi sie kesehatan. Saat perjalanan hendak dimulai, ada beberapa teman wanita yang sakit dan Icha harus menjaga mereka di Vila.

Awal-awal perjalanan menuju Gunung Banyak, teman-teman terlihat sangat bersemangat. Barisan masih rapi dan langkah kaki masih tegas. Namun ketika jalan menanjak, barisan mulai bubar. Kami terpecah jadi kelompok-kelompok kecil. Teman-teman pria sabar menunggu teman-teman wanita yang sudah ngos-ngosan di tanjakan kedua. Untuk meringankan beban para wanita ini, mereka bahkan mau membawakan tas teman-teman wanita. Satu orang bisa membawa lebih dari satu tas.

Di tengah perjalanan, hujan turun. Kamera Ela yang tasnya saya tinggal di vila akhirnya saya bungkus dengan jaket dan saya masukkan ke kantong kresek. Sambil menunggu hujan reda, kami mampir di warung bakso. Di warung bakso inilah saya melihat keunikan Pak We lainnya.

Semua orang di jurusan kami tahu, Pak We adalah seorang vegetarian. Maka ketika memesan bakso itu, Pak We tak mau bola-bola bakso masuk ke mangkuknya. Yang beliau makan hanya tahu. Kuahnya pun beliau tak mau kuah bakso yang ada kaldu daging sapinya itu. Beliau meminta pedagang bakso memanaskan air mineral yang beliau beli di warung sebelah warung bakso itu.

Cuaca cukup sejuk ketika kami akhirnya sampai di puncak Gunung Banyak. Angin bertiup kencang dan tanah masih sedikit basah bekas hujan. Teman-teman ada yang memilih menyendiri, mungkin mencari ide. Tapi mayoritas sibuk berfoto ria. Dari puncak Gunung Banyak, saya dapat melihat vila kami yang warnanya sangat mencolok. Dari situlah saya dapat mengira-ngira, jauh juga rupanya kami berjalan kaki.

Menjelang sore, kami memutuskan bergegas kembali ke vila. Untuk mempersingkat jarak, kami tak lewat jalan utama tapi memilih lewat jalan setapak hutan pinus. Beberapa teman harus jatuh bangun karena tak terbiasa lewat jalanan turunan seperti itu. Pak We, saya tak tahu beliau ada di depan atau di belakang. Tapi sejurus kemudian handphone saya berbunyi. Telepon dari Pak We.

"Ceng, dimana?"

"Saya di atas Pak, njenengan posisi dimana ini?"

"Saya sudah di bawah,  sama temenmu yang gondrong (maksud beliau adalah Zeus)."

"Siap, pak. Saya segera nyusul ke bawah."

"Sudah saya tinggalkan jejak. Kamu ikuti jejak saya."

Meskipun bingung jejak apa yang beliau tinggalkan, saya mengiyakan saja perkataan beliau. Sepanjang jalan saya mencari jejak dari Pak We tapi tak ketemu. Karena penasaran saya menelepon Zeus.

"Awakmu sek ambek bapak e ta?"

"Iyo, iku wonge mlaku nang ngarepku."

"Jare ngekek i jejak, tak goleki kok gak onok?"

"Masio mbok goleki sampe mene yo gak bakal ketemu. Wong jejak e teko susu indomilk iku lho di tetes-tetesno nang suket."

Saya mengambil nafas panjang. Bertanya-tanya, apa semua seniman seunik Pak We? 😆

Sekira pukul 4, kami sudah tiba kembali di vila. Beberapa teman meluruskan kaki mereka di halaman depan. Saya memilih langsung ke vila wanita untuk meletakkan kembali kamera Ela. Belum sempat masuk, di pintu vila sudah ada Icha.

"Kok sampai sore? Jauh banget ta tempatnya?"

"Puooolll."

"Mangkane sampai kumus-kumus."

"Titip kameranya Ela ya. Kata Ela suruh masukin ke tasnya. Tasnya ada di kamar."

Setelah itu saya langsung ke vila pria. Mandi dan membaringkan badan sejenak.

Seusai makan malam, mulailah teman-teman menulis. Tulisan itu harus sudah dikumpulkan keesokan harinya paling lambat jam 9 pagi, sebelum kami kembali ke Surabaya. Malam itu, saya kebagian jaga vila wanita. Saya berjaga di balkon lantai 2. Di sanalah bersama Bungkring dan Sara saya berjaga sambil mengerjakan tulisan. 

Bagian belakang vila kami, berbatasan langsung dengan hutan pinus. Yang memisahkan bangunan vila dan hutan pinus hanyalah pagar beton setinggi kurang dari 2 meter. Dari atas balkon lantai 2, pagar beton itu tak bisa mengahalangi pandangan saya ke hutan pinus. Hutan pinus itu luas dan gelap. Saat tulisan sudah selesai, saya iseng memainkan senter ke arah pohon-pohon pinus itu, sampai tiba-tiba Sara meminta saya mematikan senter.

"Mas, matiin sentermu mas. Jangan ke pohon itu."

"Opo'o Sar?"

"Pas kenak matanya mas. Cahaya sentermu pas kenak mata dia."

Sara, adalah satu orang lain, selain Mas Rimba, yang di kelas kami, sensitif terhadap hal-hal demikian. Maka ketika Sara meminta saya mematikan senter, tak ada alasan bagi saya untuk membantahnya.

Tak lama setelah peringatan Sara kepada saya, dari kamar bawah terdengar suara jeritan histeris. Rupanya itu adalah suara Cicin. Kami bergegas lari ke kamar bawah. Ketika kami sampai, kamar Cicin sudah penuh teman-teman yang ingin tahu apa yang terjadi. Icha ada di sana. Mengoleskan minyak ke tangan Cicin dan memijatnya. Mas Rimba juga ada di sana. Memegangi jempol kaki Cicin.

Ketika semua sudah tenang, saya kembali ke atas. Teman-teman kembali ke tempat masing-masing. Mas Rimba, menyusul saya di balkon lantai 2. Ia menceritakan yang membuat Cicin histeris adalah karena ia merasa melihat dua mata yang sangat merah dari balik jendela kamarnya. Saya dan Sara lantas menceritakan apa yang saya lakukan beberapa menit sebelum jeritan itu. Kami kemudian meminta Mas Rimba untuk ikut berjaga di atas. Sambil sesekali menengok keadaan Cicin.

Pukul 5 subuh, karena melihat kondisi sudah tenang-tenang saja, saya memutuskan untuk turun ke bawah dan tidur di sofa. Pagi setengah 7 saya terbangun. Icha sudah duduk di pojokan sofa. Tak tahu sudah berapa lama dia di situ. Saya kemudian pamit balik ke vila pria. Mandi lalu berkemas.

Tak lama kemudian truk dan bus mini yang dua hari lalu mengantar kami sudah ada di depan vila. Pak We meminta ikut truk saja. Duduk di sebelah supir ditemani Osen. Saya seperti ketika berangkat, ikut bus mini dan duduk di tempat favorit saya: kursi baris paling belakang, pojok dekat jendela.

Menjelang tengah hari, kami sudah sampai di Surabaya. Pak We dijemput ojek langganannya. Icha dijemput adiknya. Sementara saya dan teman-teman Mabes Alay, jalan kaki dengan mata yang berat dan langkah kaki yang terbata-bata.


Comments