Mengambil Jeda Menulis

Beberapa hari ini menulis jadi agak berat. Bukan karena ide, gaya tutur atau sekian hal lain yang sifatnya teknis. Melainkan karena soal mengatur  waktu yang pelan-pelan agak lepas dari perencanaan-perencanaan saya.  Kalau soal ide, sepertinya masih ada, karena sejak awal membuat blog ini saya bertekad hanya akan membuat tulisan-tulisan ringan, pengalaman masa lalu saya dan tulisan-tulisan tak penting lain semacam itu, yang akan habis dibaca lebih cepat daripada waktu yang dibutuhkan untuk menghabiskan sepotong pisang goreng.

Hari Sabtu lalu, saya mulai tersendat-sendat memenuhi komitmen pada diri sendiri untuk bisa menulis setiap hari. Hari Sabtu itu, di kantor ada kerja bakti, membersihkan gudang bawah juga menata gudang atas. Selepas ashar, saya pulang. Rebahan sebentar di kasur, tapi malah tertidur.

Selepas isya, saya harus menghadapi tugas yang sudah saya tunda sejak Minggu sebelumnya: mencuci 40 potong baju. Ketika tugas mencuci selesai, mata sudah tak kuat lagi untuk menulis. Apalagi selama ini saya menulis melalui HP. Entah ini hanya saya atau semua orang, ketika menulis di HP saya merasa mata saya jadi cepat lelah. Dan itu mendorong saya lebih cepat untuk segera tidur.

Minggu pagi, seperti biasa saya bersepeda. Minggu itu saya keluar rumah agak siang dari biasanya: pukul setengah 7 pagi. Bersama beberapa teman saya menyusuri jalanan Surabaya Barat. Sebelum dzuhur, saya sudah sampai rumah. Ayah dan ibu tak ada di rumah. Beliau berdua jadi panitia qurban di kampung kami. Hari Minggu itu sampai hari Senin, beliau berdua menjalankan amanah untuk melakukan pembelian hewan qurban di rumah Mbah, di Bojonegoro.

Siang, setelah mandi dan berganti pakaian saya memutuskan untuk istirahat. Malam baru saya menulis lagi. Satu tulisan panjang dan satu tulisan pendek. Ketika dua tulisan itu selesai, saya dapat WA dari kawan kantor. Ia meminta saya ikut ke Jombang, Senin pagi, untuk syuting video iklan program bulan depan. Saya diajak jadi salah satu talent. Diminta in frame. Beruntung itu video iklan pendek. Tak ada dialog. Lebih beruntung lagi, di video itu wajah saya harus tertutup masker sehingga kelak ketika video itu tayang, tak ada anak kecil yang harus menangis sawan 😁.

Senin pukul 10 pagi, kami sudah tiba di Jombang. Lokasi syutingnya di sebuah desa terpencil dimana rumah penduduknya masih banyak yang hanya berdinding anyaman bambu. Di sela-sela pengambilan gambar, saya sempat berbincang dengan Cak Bayu, orang yang bertanggung jawab menyiapkan talent warga asli desa tersebut. Cak Bayu adalah seorang guru. Dan salah satu talent kami adalah murid beliau. Cak Bayu selain mengajar juga aktif di komunitas film di Jombang. Terkadang di sela mengajar, beliau menuangkan hobinya membuat sketsa komedi. Siapa yang beliau ajak membuat sketsa? Tentu saja murid-muridnya.

Cak Bayu, sarjana Bahasa Indonesia, sama seperti saya. Sebelum jadi guru beliau pernah dua tahun jadi OB di salah satu rumah sakit di Surabaya. Kepada Cak Bayu saya bertanya bagaimana perasaan beliau dengan konsep belajar daring saat ini.

"Angel mas. Murid e angel, gurune ya angel. Wali murid durung kabeh iso selalu nyediakne paket data. Lha guru ngajar ya kangelan nek pas ngekeki tugas. Tulisane arek-arek angel diwoco nek dikirim daring," ucapnya sambil terbahak.

Saya juga sempat bertanya kepada Cak Bayu, bagaimana anak muda di sana setelah mereka selesai sekolah. Jawabannya tak membuat saya kaget. Tak jauh dari umumnya anak muda di desa. Mereka merantau, meninggalkan desa untuk mencari penghidupan di kota besar.

Desa Cak Bayu, lokasi syuting kami itu, berbatasan langsung dengan jalan tol. Dari warung tempat saya makan siang, dari rumah yang dijadikan lokasi pengambilan gambar, saya bisa dengan jelas melihat tol tersebut. Kata Cak Bayu, ada jalan kecil yang bisa dilewati warga desa untuk bisa sampai di rest area tol tersebut. Di rest area itulah kata beliau, warga desa mencari hiburan di kala hari libur.

"Rest areane apik mas. Wong kene nek dolen ya runu. Tapi ya mung foto-fotoan. Ora njajan. Lha wong jajane rest area larang-larang," tuturnya sambil menunjukkan kepada saya, foto dirinya bersama sang istri saat "berlibur" di rest area itu.

Cerita Cak Bayu soal rest area itu bikin saya bingung pasang wajah. Di satu sisi saya prihatin, tapi di sisi lain beliau menceritakan itu dengan tertawa, dan membuat saya juga ingin paling tidak tersenyum demi mendengar penuturannya.

Menjelang Magrib, proses syuting selesai. Kami melanjutkan perjalanan. Mampir ke salah satu rumah teman yang berjarak 1 jam perjalanan dari desa tempat kami syuting. Di sana kami beristirahat sejenak sambil makan rujak. Pukul setengah 9 kami sudah berada di mobil untuk kembali ke Surabaya. Ketika mobil sudah memasuki tol saya tak kuat lagi menahan kantuk. Saya baru terbangun ketika kami sudah berjarak 5 menit dari kantor.

Ketika saya sampai rumah, jam sudah menunjukkan pukul setengah 11 malam. Setelah mandi dan berganti pakaian, saya mencoba menulis. Tapi buntu. Akhirnya saya memutuskan untuk  tidur.

Pagi, seperti biasa saya berangkat ke kantor. Di kantor, belum terpikir menulis untuk blog ini. Saya masih harus melakukan koordinasi untuk liputan di Probolinggo dan Jember besok pagi.

Saat istirahat siang, saya mencoba menulis. Tapi masih tak fokus. Ada beberapa hal lain yang berseliweran di kepala. Sore hari dapat kabar narasumber di Probolinggo ternyata positif covid. Lokasi liputan di Jember ternyata juga di rumah sakit. Demi keamanan, dengan sangat berat hati akhirnya kami memilih menunda liputan esok.

Setelah sholat magrib di kantor, saya pulang. Mandi, makan, lalu mencoba menulis. Di paragraf awal saya merasa agak berat. Berat mungkin karena saya mulai membiarkan diri saya beberapa hari ini suka mengambil jeda untuk menulis. Tapi kemudian saya teringat ucapan Makhfud Ikhwan: "Lalu, kenapa menulis itu berat? Karena tak ada kebaikan yang bisa dilakukan dengan gampang." Ucapan Makhfud Ikhwan itulah yang akhirnya membuat tulisan ini selesai.

Comments