Odos dan Hewan Peliharaan

Di antara seluruh penghuni kontrakan, Odos adalah orang yang paling lincah soal cari uang tambahan. Saya dan teman-teman yang lain mungkin hanya akan mendapatkan uang tambahan ketika diundang tampil musikalisasi puisi, jadi juri lomba musikalisasi/baca puisi, atau diminta sebuah sekolah untuk membantu persiapan siswa mereka yang akan ikut lomba kesastraan. Tapi Odos, entah bagaimana dia menemukan jalannya, dia bisa dapat uang dari jadi mekelar bus pariwisata, dan makelaran-makelaran yang lain.

Dari kegiatannya bermakelaran itulah kantongnya jadi lebih tebal. Dia bisa saja tiba-tiba keluar kontrakan dan pulang sambil membawa kamera DSLR baru. Atau tak jarang juga tiba-tiba mengajak kami semua keluar untuk makan bersama.

Tapi terkadang Odos tak bisa mengelola uangnya dengan baik. Kalau ditegur soal ini dia selalu ngeles: "Jenenge duit panas, mesti cepet entek e."

Kami bisa saja cuek soal Odos dan caranya mengelola uang. Tapi kami tak tahan ketika akhirnya dia mengeluh saat uangnya habis sama sekali. Kalau sudah begitu, biasanya Odos akan menjual barang yang ia beli saat masih banyak uang. Termasuk salah satunya adalah kamera DSLR yang baru dibelinya itu. Hasil penjualan kamera itu ia gunakan untuk makan sehari-hari dan bayar patungan listrik dan air kontrakan.

Bukan cuma soal keluhannya ketika sudah tak punya uang. Kadang, ketika ia punya banyak uang, pilihan-pilihannya untuk membelanjakan hasil keringatnya itu sering bikin kami geleng-geleng kepala. Misalnya yang satu ini. Suatu siang sepulang kuliah, Odos mengajak Osen keluar. Saya yang sedang rebahan di ruang tamu kontrakan cuma dipamiti bahwa ia mau keluar sebentar tanpa bilang tujuannya kemana.

Setelah magrib ketika saya dan teman-teman yang lain sedang asyik bermain gitar dan bernyanyi, Odos pulang membawa sesuatu yang sama sekali tak kami duga: seekor bayi ular sanca. Lengkap dengan tempat makan dan tempat berendam ular tersebut. 

Odos menaruh bayi sanca tersebut di tangannya dan memamerkannya kepada kami. Selama beberapa jam, ular itu ia bawa keluar masuk kamar. Antusiasnya kepada ular tersebut persis seperti anak kecil yang baru dihadiahi mainan oleh Bapaknya. 

Saya penasaran bagaimana tiba-tiba Odos bisa kepikiran punya peliharaan. Dan kenapa juga harus ular sanca. Untuk mendapat jawaban dari rasa penasaran tersebut saya mencoba bertanya kepada Osen yang mengantarkan Odos membeli ular itu.

"Piye ceritane moro-moro arek iku kepikiran tuku ulo sen?"

"Emboh gak jelas. Ngajak metu golek mangan lha kok moro-moro ngajak mampir nang pasar ikan hias terus tuku ulo iku."

"Lha gak mbok penging?"

"Arek pengku, angel kandanane. Dikongkon tuku klambi ae ben ketok rodok pokro nek ngampus, malah tuku ulo."

Saya kemudian masuk ke kamar Odos. Saya lihat bayi sanca itu ia letakkan di bawah kasurnya, di tempat berendam yang dibelinya sepaket dengan ular itu.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali seisi kontrakan heboh. Bayi sanca Odos ternyata keluar dari tempat berendamnya dan sudah berada di bawah kaki kami yang tidur di depan televisi.

Osap yang mulutnya tak kalah rusak dari Odos langsung masuk ke kemar Odos sambil teriak-teriak..

"He, blok! tangio, ulomu iku lho metu teko panggone."

"Karek njunjung seh, terus balekno nang panggone."

"Untumu a..nek nyokot piye?"

"Gak popo wong iku gak berbisa."

"Ha mbok pikir masio gak berbisa nek nyokot gak loro?"

Odos kalah debat. Maka ia segera turun dari kasurnya dan mengembalikan ularnya ke tempat semula. 

Setelah kejadian itu, teman-teman di kontrakan sering meminta Odos untuk menjual bayi sancanya. Meskipun masih bayi dan tidak berbisa, kehadiran ular itu cukup mengusik penghuni kontrakan. Tapi Odos bergeming. Ia tak peduli ocehan teman-temannya. Ia baru terpikir menjual bayi sancanya ketika melihat tubuh peliharaannya itu sering mengeluarkan cairan semacam lendir. Ia khawatir ularnya itu sakit dan tak lama kemudian akan mati.

Maka hari itu, Odos sengaja bolos kuliah. Ia kembali mengajak Osen ke pasar ikan hias untuk menjual ularnya. Ketika Odos dan Osen berangkat, saya tiba-tiba merasa curiga. Kenapa hanya untuk menjual ular saja dia menyediakan satu hari penuh hingga rela bolos kuliah? Saya mencoba meyakinkan diri, mungkin itu cuma perasaan saya saja.

Tapi sekira pukul 4 sore, kecurigaan saya terbukti. Odos pulang ke kontrakan sambil membawa sebuah sangkar burung. Sangkar burung itu ditutupi kain. Dan ketika kain itu dibuka, barulah kami tahu isinya: sepasang anakan burung hantu.

Sementara Odos masih sibuk dengan peliharaan barunya, Osen mendatangi saya dan bercerita:

"Mangkane dibelani mbolos kuliah Ceng. Lha tibakne mari ngedol sanca ngajak muter-muter pasar burung. Aku sampe pegel ngetutno."

Saya cuma bisa geleng-geleng kepala.

Seperti bayi sancanya, Odos juga meletakkan sepasang anakan burung hantu itu di kamarnya. Sejak malam pertama kehadiran burung itu, kami sudah membayangkan bagaimana jadinya jika kelak anak burung hantu itu sudah besar dan mengeluarkan suara di malam hari. Tapi apapun itu kami sedikit lega. Burung hantu lebih aman daripada seekor sanca.

Keesokan paginya, tak seperti biasa. Odos bangun lebih awal. Ia bergegas mandi, ganti baju, lalu segera asyik dengan burung hantunya. Sebelum berangkat kuliah, Odos mengeluarkan sangkar burungnya dan menggantungnya di teras kontrakan. Osen yang melihat hal ganjil itu segera menegur Odos.

"Kok mbok dekek kunu manuk e, mbut?"

"Gak popo, ben kenek matahari."

Maka setelah itu kami semua pun berangkat kuliah. Siang hari, kuliah sudah selesai dan kami segera balik ke kontrakan. Karena lelah, kami tak sempat memperhatikan burung hantu Odos yang masih berada di teras kontrakan.

Barulah beberapa menit kemudian kami terkejut dengan teriakan Odos:

"Duhh..mati kabeh burung hantu e. Wes dirubung semut ngene." 

Kami segera berkerumun mendekat ke sangkar burung itu. Dan benar kata Odos, sepasang burung hantu itu sudah terkapar dan banyak semut di tubuh keduanya. Osap tak mau menyia-nyiakan momen ini untuk meluncurkan "smash" keras kepada Odos dari mulutnya yang nggak tahu aturan itu:

"Wes ta, paham? burung hantu iku uripe bengi. Lha lapo isuk-isuk mbok pepe koyok perkutut? Lha kon iku ngopeni awakmu dewe ae gak godak kok malah ngopeni kewan. Nek mati ngene iki lak ngesakno kewane."

Odos tak membalas sepatah kata pun ucapan Osap. Dia hanya diam sambil terus membolak-balik tubuh sepasang burung hantunya yang sudah kaku.

Comments