Salah Kiblat

Teman saya yang satu ini biasa dipanggil Odos. Satu jurusan namun beda prodi. Sejak masa PKKMB selesai, saya sering main ke kosannya. Awalnya cuma karena teman sekelas saya adalah rekan sekamar Odos. Tapi lama-lama saya jadi akrab juga dengan dia.

Seperti teman sekelas saya yang tinggal sekamar dengannya, Odos berasal dari Lamongan. Perawakannya tinggi besar dengan wajah yang "kebapakan". Pria kelahiran Agustus ini adalah pribadi yang cuek. Soal apapun. Penampilannya, apa adanya. Ketika kuliah pakaiannya kusut. Ketika sedang di kosan saja, biasanya dia cuma pakai sarung. Odos sebenarnya lebih dari cukup punya uang untuk beli pakaian yang layak. Tapi baginya, makanan jauh lebih menarik daripada pakaian.

Soal sikap pun Odos cuek setengah mati. Dia bisa misuh-misuh seenak bathuke di pinggir jalan. Pernah suatu kali saya sampai harus menenangkan pengendara motor yang emosi gara-gara pisuhannya.

Di balik sikap cueknya, Odos sebenarnya teman yang baik. Dia hampir tidak pernah menikmati rezekinya sendirian. Kalau dia nyegat gerobak mie ayam, teman-teman yang ada di kosannya pasti juga kecripatan. Kalau dia keluar bilang cari camilan, camilan itu pastilah dalam jumlah yang cukup untuk disikat beramai-ramai.

Dua atau tiga semester setelah PKKMB, teman yang main ke kosan Odos semakin banyak. Kosannya sudah menjadi tempat transit bagi kami yang sedang menunggu jam kuliah berikutnya ataupun yang setelah jam kuliah tak ingin buru-buru pulang. Odos sadar, ia perlu tempat yang lebih luas untuk bisa menampung teman-temannya. Maka ia pun memutuskan mengontrak sebuah rumah. Patungan dengan teman-teman yang sering main ke kosannya.

Maka mulailah kami tinggal di rumah kontrakan baru. Jaraknya mungkin hanya 200 meter dari kosan lama Odos. Kontrakan itu memiliki tiga kamar. Lebih dari cukup untuk menampung kami. Sayangnya, tempat parkir motornya tak terlalu luas. Sehingga kalau lagi ramai orang, motor teman-teman yang datang belakangan, terpaksa berjejer di jalanan kampung.

Odos anak pertama dari dua bersaudara. Selama di Surabaya, Odos rajin berkomunikasi dengan orang tuanya lewat sambungan telepon. Hampir setiap hari, Abahnya selalu menelepon Odos sekadar untuk mengingatkan sholat. Dan Odos selalu menjawabnya dengan, "Sampun sholat Bah" padahal kami semua tahu, ia tak pernah benar-benar melakukannya.

Suatu ketika, orangtua Odos mendadak datang ke Surabaya untuk menjenguknya di kontrakan. Tanpa kasih kabar dulu, tiba-tiba mobil Abahnya sudah ada di depan kontrakan. Sayangnya, Abah si Odos, mungkin belum tahu kontrakan anaknya berada di jalan sempit yang hanya cukup untuk lewat motor. Sehingga mobil yang dipaksakan masuk itu pun akhirnya memakan korban: ban depan sebelah kiri terperosok ke dalam got.

Dalam keadaan hujan, kami beramai-ramai berusaha mengeluarkan ban itu dari got. Kemudian menyarankan Abah Odos untuk memarkirkan mobilnya di halaman masjid yang tak jauh dari kontrakan. Setelah semua beres, kami pun bergantian mandi dan ganti pakaian, agar tak masuk angin setelah hujan-hujanan. Abah Odos seperti juga anaknya, adalah pribadi yang suka nraktir. Maka ketika ada bunyi kentongan penjual mie ayam di depan kontrakan, amanlah perut kami sore itu.

Perpaduan antara hujan, mie ayam dan percakapan yang hangat membuat sore itu terasa begitu istimewa. Tapi Odos membuatnya buyar seketika. Kejadian itu bermula ketika Abah si Odos memerintah anaknya untuk sholat ashar.

"Le, ndang asharan sek!"
"Nggih, bah.."

Odos pun meletakkan mangkuk mie ayam yang sudah kosong isinya. Ia kemudian bergegas menuju kamar mandi untuk berwudhu. Setelah berwudhu ia masuk ke kamar tengah untuk sholat.

Saat sholat, Odos tak menutup penuh pintu kamarnya. Ada celah di pintu untuk kami bisa melihat apa yang ia kerjakan di kamar. Diam-diam, Abah ternyata juga memerhatikan Odos yang sedang sholat. Tak lama kemudian beliau berdiri dan membuka pintu kamar anak sulungnya itu sambil berteriak:

"Berarti selama iki awakmu mbujuki aku, le!"

Odos yang baru saja menyelesaikan sholatnya langsung menoleh kaget.

"Mbujuki nopo bah?"

"Jare awakmu ben dino sholat, lha tapi iku mau tak delok sholatmu keliru!"

"Keliru nopo bah? bener bah, ashar 4 rakaat"

"Iyo nek soal iku awakmu bener. Tapi madepmu sing salah! Sejak kapan sholat ngadep wetan! Nang ndi ae sholat iku ngadep ngulon!"

Muka Odos memerah, malu. Kami, teman-temannya, cuma bisa menahan tawa. Odos mungkin lupa bahwa kontrakannya menghadap barat, arah kiblat. Dia dengan entengnya malah sholat membelakangi pintu utama kontrakan, menghadap timur.

Tak lama setelah kejadian memalukan itu, orangtua Odos pamit balik ke Lamongan. Sebelum benar-benar meninggalkan kontrakan, Abah menghujani Odos dengan petuah soal sholat dan pentingnya untuk tidak berbohong. Odos hanya manggut-manggut sambil menahan malu.

Ketika mobil hitam Abahnya sudah tak tampak mata, Odos bergegas masuk ke kontrakan dan menjadikan kami pelampiasan kekesalannya.

"Ngunu kon nggak ngandani aku rek! Aku nggak ngerti nek iku mau madep ngetan."

Mendapati kekesalannya itu, sebagai teman yang baik hati, kami cuma tertawa sambil membisikkan di dekat telinganya sebuah kata yang penuh magis: "Kon goblok!" 😆😆😆



Comments