Semakin hari, semakin banyak yang ikut nimbrung di kontrakan. Suasana makin ramai. Parkiran motor makin berjajar panjang di pinggir jalanan kampung. Karena tak enak dengan tetangga, kami akhirnya memutuskan pindah kontrakan.
Odos dan Darma yang bertugas cari kontrakan. Setelah beberapa kali survey akhirnya kami dapat kontrakan baru. Lokasinya tak jauh dari kontrakan lama. Rumah kontrakan itu lebih besar dari kontrakan kami sebelumnya. Meski cuma ada dua kamar, tapi kamar-kamar itu lebih luas daripada kamar di kontrakkan lama. Halamannya pun jauh lebih luas. Cukup untuk parkir 8-10 motor. Dan yang paling penting, tepat di depan kontrakan ada warung milik Mbak Sum, sehingga kami tak perlu jauh-jauh untuk beli makan.
Proses boyongan pun kami lakukan. Hari Sabtu, teman-teman sepakat tak pulang kampung demi segera bisa menempati kontrakan baru. Semua barang-barang mulai dari televisi sampai galon kami angkut bersama-sama. Tak perlu waktu lama untuk boyongan karena memang tak banyak barang yang kami miliki.
Di kontrakan baru, tak ada pembagian kamar. Siapapun boleh tidur dimana pun. Dan seringkali kami memang tidak tidur di kamar. Hanya dengan menggelar matras di ruang tamu pun kami bisa nyenyak tidur sampai pagi. Kamar, seringkali hanya sebagai tempat kami menyimpan pakaian, laptop dan barang-barang lain yang kami anggap harus tersimpan di tempat yang aman.
Berbeda dengan kontrakan lama, kontrakan baru kami ini punya dapur. Sesekali, kami bisa memasak dan lebih menghemat pengeluaran. Di teras kontrakan juga ada meja billiard. Sayang, meja itu tak bisa dipakai. Tapi kami tak mau menyia-nyiakannya begitu saja. Kami menjadikan meja billiard itu sebagai tempat untuk menaruh sepatu.
Kontrakan kami punya 4 jendela. Di ruang tamu, ada dua: depan dan samping. Di kamar depan ada satu. Dan satu lagi di kamar belakang. Tepat di bawah jendela kamar depan ada sebuah sumur milik tetangga. Kadang kalau lagi iseng, kami buka jendela, lalu memasukkan pancingan ke sumur tersebut. Kalau lagi beruntung, dapat ikan kecil. Tapi kalau lagi sial, dapat omelan tetangga yang punya sumur tersebut.
Tepat di samping sumur, ada semacam gubuk kecil yang penuh dengan barang bekas seperti botol, kardus dan sebagainya. Dari gubuk itu setiap malam terdengar suara orang merintih. Awalnya kami takut. Tapi setelah memerhatikan ternyata ada tunawisma yang tinggal di gubuk itu. Ia laki-laki. Pakaiannya compang-camping. Dan suara rintihan itu mungkin karena ia kedinginan kena angin malam, karena gubuk itu benar-benar terbuka.
Awal-awal pindah ke kontrakan itu, saya hanya mampir sebentar saja, tidak menginap seperti di kontrakan lama. Tapi kemudian saat teman-teman menceritakan bahwa mereka dapat "sambutan" dari "penghuni" kontrakan saya jadi penasaran.
"Nang kontrakanmu iku rek, ancen ono sing nunggu. Mbah-mbah lanang. Mlakune rodok mbungkuk. Tapi apik kok. Duduk sing ganggu," tutur Mbak Sum, pemilik warung di depan kontrakan kami.
"Iyo ceng. Kon kudu nginep kene, ben ngrasakno dewe. Arek-arek wes ngrasakno," ucap Zeus kepada saya.
Maka beberapa hari setelah ucapan Zeus itu, saya benar-benar menginap di kontrakan. Sialnya malam saat saya menginap, di kontrakan hanya ada 3 orang. Saya, Zeus dan Icol. Teman-teman yang lain menginap di kantor BEM karena ada acara.
Malam itu, Zeus tidur di kamar belakang. Sementara saya dan Icol tidur di ruang tamu. Sekira pukul 1 pagi saya terbangun karena kedinginan. Kipas angin saya matikan. Lalu saya ke dapur untuk minum. Saya lihat Zeus tertidur pulas di kamar belakang. Di ruang tamu Icol juga tepar. Saat saya baru saja hendak terlelap lagi, kipas angin nyala lagi. Saya ngomel-ngomel ke Icol karena saya kira dia yang menyalakannya. Saya kembali mencoba tidur setelah mematikan kipas angin itu lagi. Tapi tak lama kemudian kipas itu nyala kembali. Saya kembali menegur Icol. Tapi ternyata dia tidur pulas. Perasaan saya mulai tak enak. Saya matikan lagi kipas itu lalu saya tidur menghadap Icol supaya bisa memergokinya jika itu memang ulahnya. Tapi tak lama kemudian kipas itu menyala lagi dan saya lihat posisi tidur Icol tidak berubah sama sekali.
Saya mulai sedikit was-was. Akhirnya saya mematikan lagi kipas angin itu, lalu menyalakan televisi dan memilih tidak tidur sampai pagi. Saya tak tahu apakah itu "sambutan" yang dimaksud teman-teman. Atau itu kekurangajaran mereka yang ingin menggoda saya. Tapi yang jelas setelah malam itu saya jadi lebih rajin menginap di kontrakan. Saya tak terlalu mengingat-ingat kejadian soal kipas itu. Dan memang peristiwa kipas itu tak pernah terjadi lagi.
Saya hanya mencoba berpikir positif. Mungkin kipas itu memang rusak. Atau tangan jail Icol yang melakukannya. Tapi kalau itu memang "sambutan" dari sosok yang dikatakan Mbak Sum, saya bersyukur karena sambutannya tak terlalu heboh.
Odos dan Darma yang bertugas cari kontrakan. Setelah beberapa kali survey akhirnya kami dapat kontrakan baru. Lokasinya tak jauh dari kontrakan lama. Rumah kontrakan itu lebih besar dari kontrakan kami sebelumnya. Meski cuma ada dua kamar, tapi kamar-kamar itu lebih luas daripada kamar di kontrakkan lama. Halamannya pun jauh lebih luas. Cukup untuk parkir 8-10 motor. Dan yang paling penting, tepat di depan kontrakan ada warung milik Mbak Sum, sehingga kami tak perlu jauh-jauh untuk beli makan.
Proses boyongan pun kami lakukan. Hari Sabtu, teman-teman sepakat tak pulang kampung demi segera bisa menempati kontrakan baru. Semua barang-barang mulai dari televisi sampai galon kami angkut bersama-sama. Tak perlu waktu lama untuk boyongan karena memang tak banyak barang yang kami miliki.
Di kontrakan baru, tak ada pembagian kamar. Siapapun boleh tidur dimana pun. Dan seringkali kami memang tidak tidur di kamar. Hanya dengan menggelar matras di ruang tamu pun kami bisa nyenyak tidur sampai pagi. Kamar, seringkali hanya sebagai tempat kami menyimpan pakaian, laptop dan barang-barang lain yang kami anggap harus tersimpan di tempat yang aman.
Berbeda dengan kontrakan lama, kontrakan baru kami ini punya dapur. Sesekali, kami bisa memasak dan lebih menghemat pengeluaran. Di teras kontrakan juga ada meja billiard. Sayang, meja itu tak bisa dipakai. Tapi kami tak mau menyia-nyiakannya begitu saja. Kami menjadikan meja billiard itu sebagai tempat untuk menaruh sepatu.
Kontrakan kami punya 4 jendela. Di ruang tamu, ada dua: depan dan samping. Di kamar depan ada satu. Dan satu lagi di kamar belakang. Tepat di bawah jendela kamar depan ada sebuah sumur milik tetangga. Kadang kalau lagi iseng, kami buka jendela, lalu memasukkan pancingan ke sumur tersebut. Kalau lagi beruntung, dapat ikan kecil. Tapi kalau lagi sial, dapat omelan tetangga yang punya sumur tersebut.
Tepat di samping sumur, ada semacam gubuk kecil yang penuh dengan barang bekas seperti botol, kardus dan sebagainya. Dari gubuk itu setiap malam terdengar suara orang merintih. Awalnya kami takut. Tapi setelah memerhatikan ternyata ada tunawisma yang tinggal di gubuk itu. Ia laki-laki. Pakaiannya compang-camping. Dan suara rintihan itu mungkin karena ia kedinginan kena angin malam, karena gubuk itu benar-benar terbuka.
Awal-awal pindah ke kontrakan itu, saya hanya mampir sebentar saja, tidak menginap seperti di kontrakan lama. Tapi kemudian saat teman-teman menceritakan bahwa mereka dapat "sambutan" dari "penghuni" kontrakan saya jadi penasaran.
"Nang kontrakanmu iku rek, ancen ono sing nunggu. Mbah-mbah lanang. Mlakune rodok mbungkuk. Tapi apik kok. Duduk sing ganggu," tutur Mbak Sum, pemilik warung di depan kontrakan kami.
"Iyo ceng. Kon kudu nginep kene, ben ngrasakno dewe. Arek-arek wes ngrasakno," ucap Zeus kepada saya.
Maka beberapa hari setelah ucapan Zeus itu, saya benar-benar menginap di kontrakan. Sialnya malam saat saya menginap, di kontrakan hanya ada 3 orang. Saya, Zeus dan Icol. Teman-teman yang lain menginap di kantor BEM karena ada acara.
Malam itu, Zeus tidur di kamar belakang. Sementara saya dan Icol tidur di ruang tamu. Sekira pukul 1 pagi saya terbangun karena kedinginan. Kipas angin saya matikan. Lalu saya ke dapur untuk minum. Saya lihat Zeus tertidur pulas di kamar belakang. Di ruang tamu Icol juga tepar. Saat saya baru saja hendak terlelap lagi, kipas angin nyala lagi. Saya ngomel-ngomel ke Icol karena saya kira dia yang menyalakannya. Saya kembali mencoba tidur setelah mematikan kipas angin itu lagi. Tapi tak lama kemudian kipas itu nyala kembali. Saya kembali menegur Icol. Tapi ternyata dia tidur pulas. Perasaan saya mulai tak enak. Saya matikan lagi kipas itu lalu saya tidur menghadap Icol supaya bisa memergokinya jika itu memang ulahnya. Tapi tak lama kemudian kipas itu menyala lagi dan saya lihat posisi tidur Icol tidak berubah sama sekali.
Saya mulai sedikit was-was. Akhirnya saya mematikan lagi kipas angin itu, lalu menyalakan televisi dan memilih tidak tidur sampai pagi. Saya tak tahu apakah itu "sambutan" yang dimaksud teman-teman. Atau itu kekurangajaran mereka yang ingin menggoda saya. Tapi yang jelas setelah malam itu saya jadi lebih rajin menginap di kontrakan. Saya tak terlalu mengingat-ingat kejadian soal kipas itu. Dan memang peristiwa kipas itu tak pernah terjadi lagi.
Saya hanya mencoba berpikir positif. Mungkin kipas itu memang rusak. Atau tangan jail Icol yang melakukannya. Tapi kalau itu memang "sambutan" dari sosok yang dikatakan Mbak Sum, saya bersyukur karena sambutannya tak terlalu heboh.
Comments
Post a Comment