Dua Cinta Umbu Landu Paranggi

"Perkenalan" pertama saya dengan Umbu Landu Paranggi terjadi kurang lebih 6-7 tahun yang lalu. Di sebuah warung kopi di Surabaya Barat, entah bagaimana awalnya, teman-teman mulai membicarakan beliau. Saya yang waktu itu sama sekali belum mengetahui apapun soal beliau hanya diam mendengarkan. Kata teman-teman, beliau ini sosok yang misterius. Penyair sufi yang ketika ditanya, "Umbu tidak menulis puisi lagi?" beliau akan menjawab, "Hidup saya ini pun sudah puisi". 

Saya langsung tertarik. Ingin lebih tahu soal bangsawan Sumba yang zuhud ini. Sepulang ngopi, saya mulai mencari banyak info soal beliau. Tulisan-tulisan beliau, tulisan tentang beliau, juga cerita dari murid kesayangan beliau, Emha Ainun Nadjib. Semua saya perhatikan satu per satu. Hingga akhirnya saya menyimpulkan bahwa Umbu memiliki dua cinta yang tidak biasa.

Cintanya yang pertama sudah sangat jelas: Puisi.  Bagi beliau puisi bukan hanya jajaran kata. Ia adalah kehidupan. Suatu ketika, Umbu mengajak salah satu muridnya berjalan mengelilingi jalanan Malioboro. Ia meminta muridnya memerhatikan sekeliling. Mengamati apapun yang ada di sekitarnya. Hingga akhirnya beliau menunjuk seorang gelandangan dan berkata kepada muridnya itu, "Dik, itu puisi. Coba amati, rasakan dan renungkan!"

Umbu memang senang membina penyair-penyair muda. Beliaulah yang pada tahun 60-an di Jogja memrakarsai adanya Persada Studi Klub (PSK). Sederet nama besar seperti Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi A.G., Ragil Suwarno Pragolapati, hingga Iman Budhi Santosa adalah penyair-penyair pilih tanding hasil binaan beliau.

Ya, Umbu sepertinya selalu tertarik menjadi "pupuk" untuk tumbuhnya tunas-tunas baru. Bagi beliau anak muda adalah "binatang yang lain" yang selalu haus arti hidup sesungguhnya. Karya-karya anak muda bagi beliau juga selalu berbeda dan tidak umum.

Soal puisi, seperti yang dituturkan Emha, Umbu punya sikap yang berbeda dengan kebanyakan penyair. Mayoritas penyair berlomba-lomba agar puisi mereka dimuat di media. Namun Umbu yang seluruh puisinya akan dimuat oleh salah satu media dalam satu edisi yang sama, justru menolak dengan cara halus. 

Ketika redaktur media yang berkantor di Jakarta itu meminta puisi-puisi Umbu untuk diterbitkan, karena tak enak hati hendak menolak, beliau memberikannya. Namun beberapa hari kemudian, diam-diam Umbu naik kereta dari Jogja menuju Jakarta dan menyelinap masuk ke percetakan media tersebut untuk mengambil puisi-puisinya kembali. 

Sepertinya bagi Umbu, puisi memiliki arti yang lebih dalam daripada sekadar menulis lalu memublikasikannya di media. Dan beliau --sebagaimana dikatakan Emha-- selalu menaruh curiga pada kemahsyuran dan popularitas.

Cinta kedua beliau adalah cintanya kepada seorang pelukis asal Malang yang bagi saya terasa sangat ganjil. Bagaimana tidak ganjil, cinta Umbu hanya cukup berhenti di dirinya sendiri. Beliau tak ingin orang yang dicintainya itu tahu. Bagi beliau, cinta yang sejati dari Allah itu jika beliau terapkan sampai dirinya bertemu wanita yang dicintainya itu, maka batal lah cinta itu.

Sebagai gambaran betapa ganjilnya cinta Umbu kepada wanita ini, izinkan saya membagikan dua kisah yang lagi-lagi saya dengar dari penuturan murid kesayangan Umbu, Emha Ainun Nadjib (tak mudah menemukan informasi soal Umbu. Salah satu jalan untuk mengenalnya adalah melalui cerita orang-orang yang pernah bersama beliau). 

Suatu malam, Umbu mendatangi rumah kost Emha dan mengajaknya keluar berjalan kaki menyusuri jalanan Jogja. Di salah satu warung, Umbu dan Emha duduk tanpa bicara sepatah kata pun mulai pukul 11 malam. Barulah pukul 4 pagi Umbu mengucapkan satu kalimat: 

"Em, keluar lihat bus." 

"Bus apa mas?" tanya Emha.

"Ya pokoknya Bus," jawabnya.

Emha pun melaksanakan permintaan gurunya. 

"Mas, busnya sudah lewat."

"Yasudah pulang kita."

Emha terkejut, kok cuma begitu setelah nunggu bus itu berjam-jam. Usut punya usut, ternyata bus yang ditunggu Umbu adalah bus dari Malang. Kota asal wanita yang dicintainya. Beliau membayangkan wanita ini dari Malang naik bus ke Jogja dan sampai di Jogja pukul 4 pagi itu. Padahal tidak jelas apakah kekasihnya itu benar-benar ada di dalam bus yang ia tunggu semalam suntuk itu atau tidak. Yang penting baginya adalah ada rasa bahwa kekasihnya dari Malang datang ke Jogja. Dan ia menyongsongnya. Itu saja sudah cukup. 

Tidak hanya itu. Ada satu cerita lain yang tak kalah ganjil. Suatu hari, Umbu meminta Emha untuk cari tiket bus jurusan Malang. Emha terkejut mengira Umbu akan melamar wanita itu. Tapi ekspresi Umbu seperti biasa, tak banyak bicara. Emha pun menuruti permintaan Umbu. Ia belikan tiket dan mengantar Umbu sampai ke dalam bus. Sampai di Malang, Umbu langsung menuju rumah kekasihnya yang ada di jalan Diponegoro. Ketika lewat depan rumah wanita itu, Umbu tak berani menoleh. Ia malah mempercepat langkahnya. Tidak jelas kekasihnya itu ada di rumah atau tidak. Setelah lewat rumah kekasihnya ia keluar ke jalan besar lagi, lalu naik bus untuk langsung kembali ke Jogja. 

Wanita yang dicintai Umbu itu akhirnya menjadi istri salah satu bupati di Bali, dimana Umbu hari ini juga tinggal di Bali. Umbu sangat senang wanita ini mendapat suami yang baik.

"Bagi saya tidak ada manusia seperti Umbu. Orang yang tahan sekali tidak bernafsu, tahan tidak mau dunia, tahan tidak mau berkuasa," tutur Emha.

Begitulah Umbu. Beliau adalah "manusia yang lain". Manusia spiritual yang telah berhasil menjaga dua cintanya tetap suci. Cintanya pada puisi juga cintanya pada seorang pelukis.


Comments