Menjadi Penjaga Gawang

Jauh sebelum rutin bermain badminton, saya adalah seorang penghobi futsal. Dulu semasa kuliah, saya dan teman-teman cukup sering  bermain futsal. Dalam satu minggu bisa sampai 3 kali. Waktunya bisa kapan saja. Bisa pagi sebelum kuliah, siang selesai kuliah, atau bahkan malam hari.

Awalnya kami main futsal hanya sekadar mengisi waktu luang saja. Tapi setelah pertandingan persahabatan dengan kelas sebelah, dimana kami pulang sebagai tim yang kalah, kami memutuskan untuk serius berbenah. 

Di kelas kami, banyak yang bisa main futsal. Tapi tak ada satupun yang mau menjadi penjaga gawang. Saya tak tahu, apakah posisi penjaga gawang kurang keren sehingga mereka selalu menolak untuk jadi penjaga gawang. Tak mungkin pertandingan dilangsungkan tanpa penjaga gawang. Maka ketika kami melakukan pertandingan persahabatan dengan teman-teman dari jurusan mesin, saya langsung nyelonong saja berdiri di depan gawang.

Hasil pertandingan bisa ditebak. Kami kalah lagi. Mereka bermain lebih baik dari kami. Setelah kekalahan itu, kami memutuskan untuk tidak mencari lawan tanding dulu. Kami sepakat latihan sendiri. 15 menit awal adalah jatah saya. Teman-teman berdiri di depan gawang dan bergantian menembakkan bola. Beberapa bisa saya tepis namun ada juga yang masuk.

Dari latihan-latihan itu, sedikit demi sedikit kami berkembang. Kami mengundang kembali kelas sebelah untuk pertandingan persahabatan. Kali ini hasilnya beda. Kami yang menang. Seminggu setelah itu, kelas sebelah yang tak terima kalah gantian mengajak kami bertanding. Hasilnya kami yang menang lagi.

Kami mulai mencoba mencari lawan dari luar fakultas. Jurusan hukum dari kampus Selatan menyatakan berminat jadi lawan tanding kami. Dua jam pertandingan berakhir imbang. Kami kemudian mencoba melawan teman-teman jurusan olahraga. Babak belur kami dibuatnya. Dari segi apapun kami kalah. Fisik mereka luar biasa prima. Larinya luar biasa cepat untuk ukuran kami yang saat itu masih rajin begadang dan merokok.

Momen pertandingan resmi kami sebagai sebuah tim adalah ketika Porsejur. Porsejur ini biasanya diadakan satu tahun sekali dalam rangka bulan bahasa. Di Porsejur, ada berbagai macam lomba kesastraan dan olahraga. Salah satunya adalah futsal. Lima tahun di kampus, saya merasakan dua kali Porsejur. Porsejur pertama saya, ada di semester 4. Saat itu kami masih awal-awal terbentuk sebagai sebuah tim. Di penyisihan kami menang 2-0 dari tim seangkatan. Namun di perempatan final kami babak belur di hajar kakak tingkat.

Porsejur kedua di semester 6. Segalanya jadi lebih baik. Kami sudah lebih matang baik dari kemampuan individu maupun pemahaman secara tim. Hasil di lapangan pun lebih baik. Dari penyisihan ke perempatfinal. Dari perempatan final ke semifinal semua kami lalui dengan mulus.

Kami benar-benar menikmati Porsejur itu. Teman-teman seisi kelas selalu datang ke lapangan saat kami bertanding. Har, salah satu yang kami andalkan untuk membobol gawang lawan selalu punya cara unik merayakan gol. Di laga-laga liga Indonesia, ataupun ketika timnas bermain, kita mungkin akan seringkali melihat selebrasi sujud syukur ketika gol terjadi. Har, mungkin terinspirasi dari selebrasi sujud syukur, sehingga setiap berhasil mencetak gol, dia akan lari ke tengah lapangan kemudian mengambil posisi duduk seperti tahiyat akhir pada sholat, lalu menoleh ke kanan dan ke kiri.

Beda Har, beda Zeus. Zeus setiap kali mencetak gol ia akan berlari ke pinggir lapangan, ke kerumunan teman-teman sekelas kami lalu melompat ke arah mereka. Melihat selebrasi-selebrasi teman-teman itu, saya jadi sedikit paham kenapa tak ada satu pun di antara mereka yang mau jadi penjaga gawang. Penjaga gawang tak punya kesempatan yang cukup untuk mencetak gol dan melakukan selebrasi semacam itu. Ia hanya harus fokus di belakang agar tidak kebobolan.

Sebagai penjaga gawang, saya memang tak bisa melakukan selebrasi. Tapi saya memilih jalan lain untuk sedikit menambah keseruan pertandingan. Jalan lain itu adalah dengan meletakkan sebuah boneka anjing berwarna kuning di sebelah gawang saya. Boneka itu sebenarnya adalah boneka yang sering dijadikan bantal ketika teman-teman tidur di Mabes Alay. Saya sendiri tak tahu keberadaan boneka anjing itu ada apa pengaruhnya atau tidak dalam pertandingan yang saya jalani. Tapi yang jelas boneka itu selalu ada di samping gawang saya hingga pertandingan final.

Di final, kami berhadapan dengan Asep cs. Kakak kelas kami dua tingkat. Sejak awal Asep sepertinya ingin pertandingan jadi panas. Tak hanya provokasi di lapangan, kepada teman-teman yang mendukung kami di tepi lapangan pun, ia menunjukkan gestur yang tak baik. Sayangnya kami termakan provokasi itu. Bongol melakukan pelanggaran tak perlu di depan gawang. Ia diganjar kartu kuning. Dan lawan beroleh tendangan bebas langsung. 

Saya meminta teman-teman membuat pagar untuk menutup sisi kanan gawang. Dan saya berdiri menutup sisi kiri. Bola tendangan lawan melaju datar ke sisi kanan. Tapi teman-teman yang menjadi pagar terlanjur meloncat. Saya yang terlanjur di sisi kiri tak mampu menggapai bola itu. Peluit wasit berbunyi. Skor jadi 1-0 untuk keunggulan Asep cs.

Di paruh kedua kami mencoba lebih keras. Hasilnya sesuai harapan. Kami melihat sisi kiri lawan sering meninggalkan lubang karena pemain sayap mereka terlalu sering maju dan terlambat turun. Sisi itulah yang kami incar terus-terusan. Saya meminta Bongol untuk tetap di tengah dan membiarkan Har, Opey dan Zeus terus berada di sisi kiri lawan. Momentumnya pun tiba. Berawal dari bola out. Har mengirim umpan ke Opey. Opey tanpa melihat dan membalikkan badan mengirim umpan kepada Zeus. Zeus mengincar sisi tengah datar kiper lawan. Gol! kami berhasil menyamakan kedudukan. 

Pertandingan semakin seru. Kami saling serang tapi tak ada gol tambahan. Di menit-menit terakhir lagi-lagi lawan dapat pelangaran. Bukan pelanggaran keras. Bola harus ditendang dua sentuhan. Saya mencoba mengonfirmasi ke wasit, "Wasit, dua kali sentuhan?" Wasit yang berasal dari Fakultas Ilmu Keolahragaan itu menganggukkan kepala. Bongol mengonfirmasi ulang pada wasit, wasit itu menganggukkan kepala lagi. 

Karena tendangan bebas itu harus dua sentuhan, saya meminta kepada teman-teman hanya 1 orang saja yang jadi pagar. Lainnya menjaga lawan yang mungkin akan menerima operan dari tendangan bebas itu.

Saat wasit meniup peluit, hanya dengan satu sentuhan, lawan menendang langsung ke arah gawang. Karena merasa telah mendapat konfirmasi dari wasit bahwa bola itu harus dua kali sentuhan, saya membiarkan bola itu masuk karena menganggap gol itu tidak akan disahkan wasit.

Tapi di luar dugaan kami. Wasit yang sudah dua kali menganggukkan kepala ketika kami mengonfirmasi bahwa bola itu harus dua sentuhan, ternyata mengesahkan gol tersebut. Kami protes tapi ia tak mendengar. Teman-teman kami di tepi lapangan mulai tak sabar. Mereka mulai menumpahkan air di dalam galon ke tengah lapangan. Gawang yang semula berdiri tegak juga jadi bergeser letak. 

Karena merasa wasit melakukan kesalahan dan protes kami tak digubris, kami memutuskan untuk WO. Kami melepaskan jersey kami dan menumpuknya di lingkaran tengah lapangan. Bersama teman-teman yang sedari awal membersamai kami di tepi lapangan, kami mundur dari area pertandingan.

Adi, ketua BEM sempat mendatangi kami di parkiran. Membujuk kami agar mau melanjutkan pertandingan. Kami merespon permintaan Adi dengan pertanyaan, "Kon paham aturan futsal ta gak Di?" Adi menggeleng. Kami tak berkata apa-apa lagi dan bergegas kembali ke kontrakan.

Sampai malam kami masih kecewa dengan keputusan wasit. Kekecewaan itu semakin menjadi-jadi ketika Asep di sosial medianya membagikan foto penyerahan hadiah disertai caption yang seharusnya dia malu untuk menuliskannya: "Alhamdulillah, juara futsal Porsejur meskipun dengan cara yang kontroversial."

Kami tak menyesal karena tak jadi juara di Porsejur itu. Kami juga tak merasa bersalah karena telah WO setelah dicurangi wasit. Satu-satunya penyesalan dan perasaan bersalah kami muncul karena setelah apa yang kami lakukan itu, di Porsejur tahun berikutnya, pertandingan futsal ditiadakan.




Comments