Kemarin pagi saya tidak bersepeda karena alasan klasik: Bangun kesiangan. Bagi saya, bersepeda yang ideal adalah mulai pukul setengah 6 pagi. Maka ketika kemarin saya baru bangun pukul 7 pagi, semangat untuk bersepeda seketika hilang.
Dari pukul 7 sampai pukul 9 pagi saya terus berada di kamar. Membaca beberapa tulisan, menonton beberapa video, lalu diam tak melakukan apa-apa. Pukul 9 pagi lewat sedikit, ada pesan masuk dari Ganong. Ia mengajak saya untuk sambang ke kafe milik Darma. Tak perlu menunggu lama, saya langsung mengiyakan ajakan tersebut.
Pukul setengah 11 saya sudah berada di lokasi yang kami sepakati menjadi titik temu. Beberapa menit kemudian Ganong dan Ahmad datang. Sebelum hari jadi semakin panas, kami pun bergegas menuju Pasuruan, tempat dimana kafe milik Darma berada.
Hari sudah menjelang Dzuhur ketika kami sampai di kafe milik Darma. Melihat kedatangan kami, Darma bergegas berlari menuju bar dan mengambil buku menu. Ia tak sadar yang datang adalah kami. Saat sudah berjarak beberapa langkah dari meja kami, barulah ia tertawa sambil menyapa kami dengan sapaan yang khas:
"Jancuuukk, tak kiro sopo. Tiwas aku mlayu-mlayu njupuk buku menu," ucapnya sambil tetap tertawa.
Setelah menyapa kami, Darma kembali masuk ke dalam untuk memanggil istrinya, "Yaangg, digoleki Keceng iki, lho!" Sejurus kemudian, Ana, istri Darma pun ikut keluar, menyapa kami.
Berada di kafe Darma membuat saya teringat kejadian beberapa tahun lalu. Siang itu, Darma tiba-tiba datang ke rumah. Ia mengajak Ana. Ia perkenalkan Ana kepada Ibu dan Bapak saya. Ia bilang akan segera menikahi Ana dan mohon restu dari Bapak dan Ibu saya. Setelah cukup ngobrol dengan Bapak dan Ibu, Darma mengajak saya keluar cari tempat ngopi. Di tempat ngopi itulah Darma dan Ana bercerita bahwa kelak ketika sudah menikah, mereka ingin membangun sebuah kafe dan hidup mandiri dari kafe itu.
Perjalanan berdirinya kafe itu, sama ajaibnya dengan perjalanan Darma dan Ana menuju pernikahan. Darma mengenal Ana dari kawan kami, Lumpur. Setelah mengenal Ana dan merasa cocok, Darma langsung gerak cepat. Ia naik motor dari rumahnya di Tuban menuju rumah Ana di Pasuruan. Setelah beberapa kali pertemuan awal, Darma membulatkan tekad untuk nembung Ana kepada orangtuanya. Dan hal ini benar-benar membuat saya kaget karena pada waktu itu Darma baru saja resign dari tempat kerjanya.
"Cuk, kon gendeng ta? Durung mergawe wani nembung anak e uwong?"
"Wes pokok e Bismillah, Ceng."
"Lha wong tuwone ngomong piye?"
"Aku dikongkon sabar sek, dikongkon golek kerjo sek. Nek iso sing cedek-cedek Pasuruan."
Tak sampai sebulan setelah percakapan itu, Darma benar-benar mendapat pekerjaan di Pasuruan. Malam hari sebelum keesokan paginya tanda tangan kontrak kerja, Darma ke rumah saya dengan wajah yang sangat ceria.
"Ancene uwong nek duwe niat apik, duwe niat serius iku mesti ditolong Gusti Pengeran yo.."
"Kandani kok. Opo arep melu jejak ku, budal nembung sek baru mikir kerjoan?"
"Aku percoyo Gusti Pengeran pasti nolong wong sing duwe niat apik. Tapi perkoro nekat e aku emoh niru awakmu!"
"Hahahaha..."
****
Darma dan Ana akhirnya benar-benar menikah. Pernikahan mereka dilangsungkan di kediaman Ana. Beberapa bulan setelah menikah, rumah tangga mereka diuji. Kontrak kerja Darma tak diperpanjang. Ia pusing setengah mati. Padahal dari tempat bekerjanya itulah Darma memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dari tempat kerjanya juga itulah Darma mengumpulkan modal untuk membangun kafe.
Sempat beberapa bulan Darma hanya di rumah saja. Ia ingin cari kerja di Surabaya, tapi Ana tak setuju. Ana khawatir jika setiap hari Darma harus menempuh perjalanan yang lumayan jauh, bolak-balik Pasuruan-Surabaya.
Di tengah kebimbangan itu, lagi-lagi pertolongan Allah menghampiri Darma. Allah memberikan rezeki tak terduga padanya. Rezeki yang cukup untuk memulai sebuah kafe. Dengan rezeki itulah dan tentu saja ditambah "Bondo Bismillah" yang selalu jadi pegangan hidupnya, Darma dan istrinya berhasil mewujudkan cita-cita mereka mendirikan kafe mereka sendiri.
***
Siang kemarin itu, Darma banyak bercerita bagaimana ia dan istrinya --yang sudah tak lagi mengajar-- mengelola kafenya. Juga bagaimana pandemi ini cukup berpengaruh pada pemasukannya. Ia terlihat banyak berpikir keras. Dan mengaku sama sekali belum libur sejak kafenya dibuka.
Kedatangan kami kemarin menjadi semacam "hari libur" bagi Darma. Tamu-tamu dilayani karyawannya. Ia banyak duduk di meja kami. Asyik bercerita dan cekikikan. Saking asyiknya, tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore dan kami harus melanjutkan agenda sambang berikutnya ke rumah Lumpur.
Magrib, kami sudah tiba di rumah Lumpur. Emak (cara kami memanggil ibu Lumpur) menyambut di depan pintu. Banyak hal berubah di rumah Lumpur. Terakhir saya ke sana, ketika istrinya yang juga teman sekelas kami, melahirkan anak pertama mereka. Anak yang dulu saya jenguk ketika baru lahir itu, kini sudah berusia tiga tahun dan segera akan punya adik. Tiba-tiba saja saya merasa sudah tak muda lagi 😆.
Waktu begitu cepat berlalu. Banyak hal berubah pada diri Darma, Lumpur, Ahmad, Ganong dan saya rasa juga semua teman-teman Sastra Indonesia lainnya. Dari perjalanan dan cerita Darma, saya banyak belajar bahwa terkadang sebagai manusia saya terlalu banyak berhitung. Saya berusaha menyiapkan segala sesuatunya sendiri seolah-olah itu akan cukup untuk segala rencana saya. Saya masih sering lupa bahwa Allah-lah penentu segalanya. Bahwa Allah-lah yang ketika saya belum merasa siap pun, tapi ketika Dia sudah berkehendak maka Kun Fayakun. Saya masih sering lupa, yang saya perlu lakukan hanyalah melakukan usaha dan doa sebaik mungkin. Saya masih sering lupa bahwa hidup tak akan cukup dengan rencana-rencana yang dibuat manusia. Terkadang, "Bondo Bismillah" seperti saat Darma nekat melamar Ana padahal belum bekerja, juga seperti saat ia nekat membuka kafe tanpa pengalaman di industri itu sebelumnya, adalah seluas-luas pembuka pintu pertolongan Allah.
Dari pukul 7 sampai pukul 9 pagi saya terus berada di kamar. Membaca beberapa tulisan, menonton beberapa video, lalu diam tak melakukan apa-apa. Pukul 9 pagi lewat sedikit, ada pesan masuk dari Ganong. Ia mengajak saya untuk sambang ke kafe milik Darma. Tak perlu menunggu lama, saya langsung mengiyakan ajakan tersebut.
Pukul setengah 11 saya sudah berada di lokasi yang kami sepakati menjadi titik temu. Beberapa menit kemudian Ganong dan Ahmad datang. Sebelum hari jadi semakin panas, kami pun bergegas menuju Pasuruan, tempat dimana kafe milik Darma berada.
Hari sudah menjelang Dzuhur ketika kami sampai di kafe milik Darma. Melihat kedatangan kami, Darma bergegas berlari menuju bar dan mengambil buku menu. Ia tak sadar yang datang adalah kami. Saat sudah berjarak beberapa langkah dari meja kami, barulah ia tertawa sambil menyapa kami dengan sapaan yang khas:
"Jancuuukk, tak kiro sopo. Tiwas aku mlayu-mlayu njupuk buku menu," ucapnya sambil tetap tertawa.
Setelah menyapa kami, Darma kembali masuk ke dalam untuk memanggil istrinya, "Yaangg, digoleki Keceng iki, lho!" Sejurus kemudian, Ana, istri Darma pun ikut keluar, menyapa kami.
Berada di kafe Darma membuat saya teringat kejadian beberapa tahun lalu. Siang itu, Darma tiba-tiba datang ke rumah. Ia mengajak Ana. Ia perkenalkan Ana kepada Ibu dan Bapak saya. Ia bilang akan segera menikahi Ana dan mohon restu dari Bapak dan Ibu saya. Setelah cukup ngobrol dengan Bapak dan Ibu, Darma mengajak saya keluar cari tempat ngopi. Di tempat ngopi itulah Darma dan Ana bercerita bahwa kelak ketika sudah menikah, mereka ingin membangun sebuah kafe dan hidup mandiri dari kafe itu.
Perjalanan berdirinya kafe itu, sama ajaibnya dengan perjalanan Darma dan Ana menuju pernikahan. Darma mengenal Ana dari kawan kami, Lumpur. Setelah mengenal Ana dan merasa cocok, Darma langsung gerak cepat. Ia naik motor dari rumahnya di Tuban menuju rumah Ana di Pasuruan. Setelah beberapa kali pertemuan awal, Darma membulatkan tekad untuk nembung Ana kepada orangtuanya. Dan hal ini benar-benar membuat saya kaget karena pada waktu itu Darma baru saja resign dari tempat kerjanya.
"Cuk, kon gendeng ta? Durung mergawe wani nembung anak e uwong?"
"Wes pokok e Bismillah, Ceng."
"Lha wong tuwone ngomong piye?"
"Aku dikongkon sabar sek, dikongkon golek kerjo sek. Nek iso sing cedek-cedek Pasuruan."
Tak sampai sebulan setelah percakapan itu, Darma benar-benar mendapat pekerjaan di Pasuruan. Malam hari sebelum keesokan paginya tanda tangan kontrak kerja, Darma ke rumah saya dengan wajah yang sangat ceria.
"Ancene uwong nek duwe niat apik, duwe niat serius iku mesti ditolong Gusti Pengeran yo.."
"Kandani kok. Opo arep melu jejak ku, budal nembung sek baru mikir kerjoan?"
"Aku percoyo Gusti Pengeran pasti nolong wong sing duwe niat apik. Tapi perkoro nekat e aku emoh niru awakmu!"
"Hahahaha..."
****
Darma dan Ana akhirnya benar-benar menikah. Pernikahan mereka dilangsungkan di kediaman Ana. Beberapa bulan setelah menikah, rumah tangga mereka diuji. Kontrak kerja Darma tak diperpanjang. Ia pusing setengah mati. Padahal dari tempat bekerjanya itulah Darma memenuhi kebutuhan hidup mereka. Dari tempat kerjanya juga itulah Darma mengumpulkan modal untuk membangun kafe.
Sempat beberapa bulan Darma hanya di rumah saja. Ia ingin cari kerja di Surabaya, tapi Ana tak setuju. Ana khawatir jika setiap hari Darma harus menempuh perjalanan yang lumayan jauh, bolak-balik Pasuruan-Surabaya.
Di tengah kebimbangan itu, lagi-lagi pertolongan Allah menghampiri Darma. Allah memberikan rezeki tak terduga padanya. Rezeki yang cukup untuk memulai sebuah kafe. Dengan rezeki itulah dan tentu saja ditambah "Bondo Bismillah" yang selalu jadi pegangan hidupnya, Darma dan istrinya berhasil mewujudkan cita-cita mereka mendirikan kafe mereka sendiri.
***
Siang kemarin itu, Darma banyak bercerita bagaimana ia dan istrinya --yang sudah tak lagi mengajar-- mengelola kafenya. Juga bagaimana pandemi ini cukup berpengaruh pada pemasukannya. Ia terlihat banyak berpikir keras. Dan mengaku sama sekali belum libur sejak kafenya dibuka.
Kedatangan kami kemarin menjadi semacam "hari libur" bagi Darma. Tamu-tamu dilayani karyawannya. Ia banyak duduk di meja kami. Asyik bercerita dan cekikikan. Saking asyiknya, tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore dan kami harus melanjutkan agenda sambang berikutnya ke rumah Lumpur.
Magrib, kami sudah tiba di rumah Lumpur. Emak (cara kami memanggil ibu Lumpur) menyambut di depan pintu. Banyak hal berubah di rumah Lumpur. Terakhir saya ke sana, ketika istrinya yang juga teman sekelas kami, melahirkan anak pertama mereka. Anak yang dulu saya jenguk ketika baru lahir itu, kini sudah berusia tiga tahun dan segera akan punya adik. Tiba-tiba saja saya merasa sudah tak muda lagi 😆.
Waktu begitu cepat berlalu. Banyak hal berubah pada diri Darma, Lumpur, Ahmad, Ganong dan saya rasa juga semua teman-teman Sastra Indonesia lainnya. Dari perjalanan dan cerita Darma, saya banyak belajar bahwa terkadang sebagai manusia saya terlalu banyak berhitung. Saya berusaha menyiapkan segala sesuatunya sendiri seolah-olah itu akan cukup untuk segala rencana saya. Saya masih sering lupa bahwa Allah-lah penentu segalanya. Bahwa Allah-lah yang ketika saya belum merasa siap pun, tapi ketika Dia sudah berkehendak maka Kun Fayakun. Saya masih sering lupa, yang saya perlu lakukan hanyalah melakukan usaha dan doa sebaik mungkin. Saya masih sering lupa bahwa hidup tak akan cukup dengan rencana-rencana yang dibuat manusia. Terkadang, "Bondo Bismillah" seperti saat Darma nekat melamar Ana padahal belum bekerja, juga seperti saat ia nekat membuka kafe tanpa pengalaman di industri itu sebelumnya, adalah seluas-luas pembuka pintu pertolongan Allah.
Comments
Post a Comment