Sepak bola. Tentu banyak orang yang akan sepakat bila saya mengatakan bahwa olahraga ini adalah salah satu jenis olahraga dengan jumlah penggemar terbanyak di dunia. Sejak zaman Pele dan Maradona, Messi dan Ronaldo, hingga kini bermunculan bintang-bintang muda macam Ansu Fati dan Takefusa Kubo, sepak bola tak pernah kehilangan pendar-pendar cahayanya.
Banyak orang di berbagai penjuru dunia memainkan dan menyaksikan olahraga ini. Sebagian dari mereka bahkan menjadi tergila-gila. Mereka rela mencurahkan energi, biaya dan pikiran untuk mendukung tim yang benar-benar mereka cintai. Tak jarang mereka bahkan rela adu mulut jika tim yang mereka cintai dipandang sebelah mata oleh pendukung tim rival.
Kegandrungan kepada sepak bola juga terjadi di lingkungan saya.Kegandrugan itu, tak lain ditujukan pada club-club papan atas liga-liga Eropa. Memangnya siapa yang tahan untuk tak mendukung club-club elit macam Juventus, Inter Milan atau AS Roma di Serie A. Real Madrid, Barcelona atau Atletico Madrid di Spanyol. Liverpool, MU atau Chelsea di Inggris. Dan sederet club papan atas lain di liga-liga top benua biru lainnya.
Mungkin hanya orang-orang yang tak tahu sepakbola, atau yang tak cukup cermat memilih tim untuk didukung, yang tak mendukung club-club Eropa tersebut. Sialnya, saya termasuk salah satunya.
Sementara teman-teman yang lain heboh mendukung clup elit Eropa, saya malah memilih memupuk kesabaran menjadi pengagum Timnas Indonesia. Ya, benar. Timnas Indonesia yang tim seniornya di AFF 'cuma' bisa jadi runner-up 5 kali itu. Timnas Indonesia yang pada tahun 2012 pernah dibantai Bahrain 10-0 itu. Timnas Indonesia yang pada pra piala dunia 2022 ini jadi juru kunci karena tak pernah sekali pun menang itu.
Menjadi pengagum Timnas Indonesia adalah pelajaran tabah yang sesungguhnya. Bagaimana tidak, ketika teman-teman yang lain bersorak gembira merayakan kemenangan club yang mereka dukung, saya seringkali cuma bisa menelan ludah karena menyaksikan timnas lagi-lagi kalah. Suatu ketika, bahkan seorang kawan pernah bertanya kepada saya, "Kenapa sih masih mau terus jadi pendukung timnas? Sudah jelas timnas kita nggak pernah juara."
Saya bukannya tak mau mendukung club elit Eropa. Saya juga bukannya sama sekali buta soal club-club top dunia tersebut. Meskipun cuma sedikit, saya juga tahu perkembangan sepak bola benua biru. Tapi rasanya aneh saja mendukung tim yang saya sama sekali tak merasa terwakili. Mau segemerlap apapun prestasi club elit Eropa, bagi saya rasanya kurang greget. Tak ada rasa bangga yang menggebu-gebu di dada, seperti saat Indra Sjafri membawa timnas U-19 era Evan Dimas menjuarai AFF Cup dan mengalahkan Korea Selatan. Seperti Saat Fachri Husaini membawa si kembar Bagas Bagus menjuarai AFF Cup U-16 di Sidoarjo. Dan seperti saat lagi-lagi Indra Sjafri, menjuari AFF Cup bersama timnas U-22.
Saya tentu saja sangat terhibur dan seringkali nggumun melihat permainan tingkat tinggi dari club elit Eropa. Apalagi melihat dua pemain yang konon adalah dua terbaik di dunia, Messi dan Ronaldo. Tapi entah mengapa, rasanya susah sekali untuk bisa cuek ketika melihat dan mendengar kabar soal timnas Indonesia. Meskipun kabar itu mayoritas adalah soal keruwetan yang selalu terjadi berulang-ulang.
Mengagumi Timnas Indonesia kadang membuat saya merasa seperti keledai. Bahkan lebih keledai dari keledai itu sendiri. Keledai hanya jatuh dua kali di satu lubang yang sama. Tapi harapan saya untuk melihat kejayaan Timnas Indonesia yang berakhir dengan kekacauan dan kekalahan demi kekalahan entah sudah berapa kali saya rasakan.
Menjadi pengagum Timnas Indonesia adalah patah hati berulang-ulang. Jauh-jauh mengejar cinta ke Spanyol, tapi berakhir dengan konyol. Ya, benar. Anda benar. Spanyol yang saya maksud tentu saja adalah Luis Milla. Pelatih yang membuat saya dan mungkin banyak pengagum Timnas Indonesia lainnya optimis melihat permainan Evan Dimas Cs, yang pelan tapi pasti mulai menujukkan progres positif. Luis Milla, adalah pelatih yang percaya membangun sepak bola tak sama seperti lewat jalan tol. Ia tak menjanjikan apa-apa, tapi bagi saya hasil kerjanya nyata. Sayangnya, baru setengah jalan, ia keburu tak bisa lanjut melatih Timnas Indonesia karena dianggap prestasinya nol.
Rasanya kesal juga melihat Timnas Indonesia tak lanjut dengan Luis Milla. Lebih kesal lagi ketika teman-teman pendukung Liverpool bercerita bahwa Jurgen Klopp pun pada masa awal memimpin tak menjanjikan apa-apa untuk. Tapi club terus percaya padanya meski di awal jalannya tak mulus. Buah kepercayaan itu, kini bisa kita lihat bersama-sama.
Seandainya Milla di Timnas Indonesia mendapatkan waktu lebih dan kepercayaan berproses seperti Klopp di Liverpool, mungkin saja... Ahh..sudahlah.. Sepak bola kita memang berbeda.
Lagi pula sekarang sudah ada Shin Tae Yong. Pelatih asal Korea Selatan yang akan bersama Timnas Indonesia selama 4 tahun. Semoga ia akan dapat waktu yang cukup dan kepercayaan yang penuh untuk berproses bersama Timnas Indonesia. Sehingga apa yang diharapkan pendukung Timnas Indonesia kelak benar-benar bisa terwujud.
Semoga. Semoga. Semoga.
Comments
Post a Comment