Sore yang biasa. Pukul 5 saya bergegas berkemas. Merapikan meja kerja yang berantakan dan memastikan charger laptop tak lagi menancap di steker. Setelah semua beres, saya segera turun menuju parkiran, menyalakan motor dan memulai perjalanan pulang.
Pukul 5 sore di Surabaya, hari belum terlalu gelap. Langit masih tampak jingga. Sementara di langit tampak menyenangkan, tapi tidak di jalanan yang saya lalui. Lalu lintas mulai agak padat. Maklum, jam pulang kerja. Saya harus sedikit bersabar dalam mengendarai motor. Tak bisa memacu motor di atas 30 km/jam. Di jam-jam seperti itu, di jalanan dari kantor menuju rumah, bisa terus mengendarai motor tanpa harus menapakkan kaki ke tanah, sudah merupakan kegembiraan tersendiri.
Baru beberapa saat memacu motor, di lampu merah kedua, saya menjumpai pemandangan lain selain langit jingga dan kemacetan lalu lintas. Pemandangan itu adalah seseorang yang mengamen mengenakan kostum boneka beruang. Selain kotakan yang ia edarkan kepada para pengendara kendaraan bermotor di lampu merah, hal lain yang menarik perhatian saya adalah kertas berukuran A4 yang menempel pada dada boneka beruang tersebut. Kertas itu bertuliskan "Pengangguran. Korban PHK gara-gara Corona."
Demi apapun, tulisan itu membuat saya tak fokus. Pikiran saya melantur kemana-mana. Di satu sisi, saya berpikir betapa terkadang hidup sangat tak adil. Ia bisa melenyapkan apa yang kita rawat dan jaga. Tapi di sisi lain, tulisan itu mengingatkan saya pada masa-masa menjadi pengangguran yang saya jalani selama 18 bulan.
****
Setelah diwisuda pada Maret 2015, saya sengaja tak langsung berburu pekerjaan. Niat saya waktu itu, saya ingin mengistirahatkan diri barang 1-2 bulan, setelah proses panjang skripsi-wisuda.
Setelah masa istirahat saya rasa cukup, barulah saya mulai berburu pekerjaan. Satu bulan pertama. Bulan kedua, ketiga, keempat dan seterusnya saya selalu mencoba. Mulai dari job fair, walk in interview, kirim lamaran lewat email, jobstreet, sampai keliling dari satu perusahaan ke perusahaan lain sudah saya kerjakan. Tapi semua hanya berhenti sampai di proses test dan wawancara.
Saya mulai berpikir, apa untuk jurusan saya memang tidak banyak peluang kerjanya? (Awal-awal melamar pekerjaan, saya memang ingin mencari sesuatu yang baru. Di luar dunia menulis, jurnalistik dan hal-hal serupa yang berkaitan dengan jurusan saya).
Atau karena saya menginginkan gaji yang kurang pas untuk ukuran seorang fresh graduate?
Saya mencoba menurunkan nilai gaji yang saya inginkan. Pikir saya, yang penting kerja dulu. Alhamdulillah dengan cara itu, setelah 9 bulan menganggur akhirnya saya mendapat pekerjaan pertama.
Pekerjaan pertama saya di sebuah perusahaan properti. Kantornya di wilayah Sidoarjo. Sedangkan perumahan milik kantor saya tersebut berada di Malang. Pemilik perusahaan ini, relatif masih muda. Sebut saja namanya Pak Er. Baru 35 tahun usianya. Perilakunya juga masih seperti anak muda. Meledak-ledak. Cak-cuk akan keluar dari mulutnya kalau dia merasa pekerjaan kami tak sesuai harapannya.
Di kantor pertama ini, saya hanya sebentar saja. Dua bulan lebih sekian hari. Saya keluar karena pihak kantor melanggar kesepakatan di kontrak. Hak saya selama dua bulan pertama dipangkas dengan jumlah yang lumayan, tanpa ada penjelasan. Saya beberapa kali juga bersitegang dengan Pak Er. Saya dan beliau beberapa kali terlibat saling berbalas cak-cuk. Puncaknya adalah ketika saya pamit mengundurkan diri.
Setelah malam harinya mengatakan bahwa saya ingin tak melanjutkan bekerja di perusahaan miliknya, keesokan paginya saya dipanggil ke ruangan Pak Er. Beliau bicara panjang lebar.Tapi yang paling saya ingat adalah perkataannya yang ini:
"Umur 27, aku wes tuku omah sing mbok gawe ngantor iki ambek Mitsubishi Lancer. Nek 2 tahun sakwise resign teko kene kon isok tuku omah ambek mobil, kon oleh motong drijiku."
Saya tak menjawab apa-apa setelah Pak Er mengatakan kalimat itu. Kalau ia ingin merendahkan saya dengan pamer apa yang sudah ia miliki, ia salah. Saya sama sekali tak merasa lebih rendah darinya hanya karena saya belum bisa beli rumah dan mobil.
Satu hari setelah Pak Er mengatakan kalimat itu, kantor didatangi dua orang berbadan tegap. Kepada saya, dua orang itu mengatakan ingin bertemu Pak Er. Soal pembayaran kontrakan rumah katanya. Saya bertanya rumah yang mana yang biaya sewanya masih nunggak?
"Ya rumah ini mas. Rumah yang sampean tempati jadi kantor ini," jawab mereka.
"Asu!" batin saya. Pak Er ternyata cuma mengumbar omong kosong ketika dia bilang pada umur 27 sudah berhasil membeli rumah yang saya dan teman-teman lain tempati sebagai kantor itu. Rumah itu ternyata rumah yang ia kontrak dan pembayarannya nunggak.
Setelah proses yang agak berbelit-belit, saya akhirnya tidak menjadi staff di kantor Pak Er lagi. Saya kemudian melanjutkan hidup sebagai teknisi kembang api di vendor penyalaan kembang api milik seorang kawan. Pekerjaan ini memberikan saya kesempatan melakukan banyak perjalanan ke luar kota. Malang, Lamongan dan yang paling sering adalah Bali. Pekerjaan ini adalah salah satu pekerjaan paling seru yang pernah saya jalani.
Pernah suatu ketika, saya harus pergi ke Lamongan untuk setting kembang api acara launching klub liga 1, Persela. Saya menuju Lamongan dengan sebuah bus dari terminal Bungurasih. Belum lama berjalan, baru saja memasuki tol, bus yang saya tumpangi terlibat tabrakan beruntun. Bus di depan bus kami tiba-tiba berhenti. Konon karena truk di depannya yang mengerem mendadak. Bus kami kemudian dihantam truk lain dari belakang. Bus kami terjepit. Kaca depan pecah. Body belakang ringsek. Beruntung, semua penumpang selamat dan dioper ke bus lain dari PO yang sama.
Pukul 10 pagi saya sudah sampai di alun-alun Lamongan dan langsung memulai setting, sendirian. Kembang api 800 ledakan dan 10 air mancur panggung, baru selesai saya kerjakan beberapa menit menjelang magrib. Rasanya lelah sekali, tapi tugas belum selesai. Apalagi itu adalah acara sepakbola. Banyak orang berkumpul di area kembang api, dengan rokok menyala di tangan mereka. Teknisi kembang api tak punya keberuntungan macam teknisi sound ataupun lighting. Dua profesi itu bisa mencoba terlebih dahulu apakah bunyi soundnya sudah pas atau apakah lightingnya sudah sesuai harapan. Kembang api tidak bisa dicoba. Ia adalah sedikit perjudian. Hanya ada sekali kesempatan tekan tombol. Jika kembang api naik sebelum waktunya, apalagi kalau cuma gara-gara kena rokok pengunjung, maka rusaklah apa yang sudah saya lakukan sejak pagi itu.
Beruntung, acara hari itu berjalan lancar. Air mancur panggung yang tombolnya ditekan sendiri oleh Pak Bupati, menyala semua. 800 tembakan kembang api yang ada di samping panggung, juga berhasil naik sesuai harapan.
Acara di Lamongan itu adalah acara terakhir saya sebagai teknisi kembang api. Kembang api mengenal musim. Di akhir tahun kami akan sangat banyak pekerjaan, tapi di awal tahun bisa sangat longgar. Saya kemudian memutuskan mencari pekerjaan lain. Kali ini, saya memilih yang sesuai dengan jurusan saya. Dan Alhamdulillah berhasil mendapatkan pekerjaan yang saya tekuni hingga hari ini.
Di tulisan ini saya cuma ingin mengatakan, untuk teman-teman yang hari ini sedang dalam proses mencari kerja, jangan pernah menyerahkan. Kita mungkin akan gagal dalam beberapa kesempatan. Tapi kita tak boleh berhenti berjuang. Coba sebanyak mungkin. Coba segala kemungkinan. Sisanya biar Tuhan yang menunjukkan jalan.
Saya pernah 18 bulan tanpa pekerjaan. Percayalah itu adalah waktu yang lebih dari cukup untuk memahami betapa tidak enaknya belum punya pekerjaan. Tapi teman-teman, itu bukan alasan untuk merasa tertekan dan merasa tak berguna. Saat itu, saya mencoba memahaminya sebagai salah satu fase hidup yang harus saya lewati. Dan sambil terus berusaha mencari pekerjaan yang sesuai, saya melakukan pekerjaan apa saja. Salah satunya teknisi kembang api yang saya ceritakan di atas.
Hidup terkadang bisa terasa sangat mudah dan menyenangkan. Tapi di sisi lain, ia terasa seperti tembok tinggi yang tak ada batasnya untuk dipanjat. Tugas kita cuma berusaha, berdoa, berusaha, berdoa. Tuhan pasti memberikan yang terbaik untuk kita. Yakinlah!
Comments
Post a Comment