Setelah Sabtu nepi ke Pacet untuk menyusuri kali Kromong lalu memilih jalur pulang memutar demi bisa mampir ke Masjid Cheng Hoo, hari Minggu saya relatif tidak kemana-mana dan tidak melakukan apa-apa. Saya hanya keluar sebentar di pagi hari lalu mencuci pakaian. Selebihnya hanya berbaring di kamar. Main PES di hp, melanjutkan nonton Enola di laptop, lalu tidur.
Sekira pukul 3 sore, hp saya berbunyi. Saya lihat, telepon dari Elbad rupanya. Setelah 5 bulan tidak ke Surabaya, hari ini karena suatu hal dia akhirnya ke Surabaya lagi dan menyempatkan diri untuk mampir ngopi.
Elbad teman kuliah saya. Satu jurusan tapi beda prodi. Dia juga bagian dari tim penyalaan kembang api yang saya pernah tergabung di dalamnya. Dia lebih hebat dari saya, soal kegigihannya menjaga idealisme tak mau kerja terikat seperti orang-orang kantoran. Saya pernah sepertinya, tapi pada akhirnya saya harus mengalah. Mau tidak mau saya harus terikat.
Semenjak diwisuda, Elbad tak pernah melamar pekerjaan. Ia benar-benar fokus di kembang api. Ia orang kepercayaan Pak Bos. Maka tak heran ketika Pak Bos sedang banyak orderan, ia lah orang kedua paling makmur di lingkaran tim kembang api kami. Tapi ketika kembang api jatuh seperti saat ini, ia jugalah orang kedua yang paling keras merasakan hantaman.
Ya, pada masa pandemi seperti saat ini, tak ada acara yang melibatkan kembang api. Itu artinya Elbad benar-benar berhenti beraktivitas. Ia lebih banyak di rumah daripada di Bali atau di kota mana pun ia ditugaskan oleh Pak Bos.
Sore kemarin, sebagai basa-basi saya membuka obrolan bersama Elbad dengan sebuah pertanyaan.
"Kon sibuk opo saiki mbut?"
"Sibuk jualan."
"Lho, dodolan opo?"
"Jualan kesedihan ke setiap orang yang tak temui," ujarnya disambung tawa yang sangat keras.
Ia selalu begitu. Sejak dulu. Caranya menikmati hidup tak berubah. Menertawakan kesedihannya sendiri agar ia merasa semua baik-baik saja.
"2020 iki sakjane wes tak rencanano nabung gae rabi taun ngarep. Eh, lha kok Corona teko. Buyar kabeh. Masa depan dadi abu-abu!"
Seorang kawan lain menimpali sambatan Elbad:
"Urip iku gak usah direncanano. Wes ngalir ae. Aku ae nggak duwe rencana. Lagipula, onok ta masa depan iku? Nek aku seh percoyo sing onok iku hari ini."
"Karena masa depan pun, kalau kita sudah sampai padanya, akan jadi hari ini juga? Ngunu maksudmu?" Saya mencoba ikut menimpali.
"Persis!" Jawab kawan saya itu.
"Yo, ket biyen aku ambek kon ancen selalu bedo cara. Aku berusaha menata segala hal. Kon selalu ngalir ae," kini giliran Elbad menanggapi pernyataan teman kami itu.
"Lha nek dipikir nemen-nemen malah nggarai stress lho mbut. Carane ben awakdewe tetep waras yowes ngalir ae. Tanpa rencana. Nek kon nggak duwe rencana, nggak bakal onok rencana sing gagal," balas kawan saya lagi.
Elbad hanya diam. Matanya menatap langit-langit warung kopi. Asap mengepul dari mulutnya. Dan sejurus kemudian ia menyesap kopi hitam yang dipesannya.
"Nek kon piye Ceng?" Tanya Elbad pada saya.
"Yowes koyok biasane."
"Tengah-tengah maneh?"
"Yo urip ancen perlu rencana. Tapi kadang sing dadi malah sing tanpa rencana."
"Lha terus?"
"Nek menurutku kadang awakdewe mek perlu bersiap."
"Piye iku?"
"Yo bersiap nek rencana gagal. Bersiap nek sing nggak direncanano malah dadi. Atau bersiap mendapat hal-hal di luar dua kemungkinan itu."
"Has! malah ruwet ngene urip. Yawes mangan sek ae. Nek perkoro mangan direncanano opo enggak tetep kudu dilakoni."
Elbad kemudian menyantap habis nasi goreng pesanan kami. Tanpa ada sisa sedikit pun. Setidaknya dengan habisnya nasi goreng itu perutnya bisa mengimbangi kepalanya. Ya, pikiran yang penuh, harus diimbangi perut yang penuh. Itu rencana terbaik yang bisa kami lakukan hari-hari ini.
Comments
Post a Comment