Libur panjang akhir tahun. Tiga hari. Dua kali. Minggu lalu, hari Jumat-Minggu tanggal 25-27 Desember. Dan minggu ini Jumat-Minggu tanggal 1-3 Januari.
Banyak orang pergi berlibur. Tapi ada juga yang dengan berbagai alasan memilih menikmati libur panjang di rumah. Anda termasuk yang mana? Saya termasuk yang menikmati hari libur di rumah.
Saya memang tak memiliki rencana pergi liburan di libur panjang akhir tahun ini. Entah karena malas atau karena pandemi. Atau mungkin juga karena keduanya. Saya hanya menyambut hari libur dengan beberapa film di hard disk dan beberapa kali main badminton.
Di libur tiga hari bagian pertama (25-27 Desember) dua hari di antaranya saya isi dengan bermain badminton. Jumat pagi dan Sabtu sore. Sebenarnya, saya dan teman-teman punya jadwal rutin main badminton yaitu setiap Selasa malam. Tapi kadang kalau kami merasa kurang waleh cuma main di hari Selasa, kami akan cari lapangan lagi di hari lain. Nah, main di hari Jumat pagi kemarin itu dalam rangka memenuhi rasa kurang waleh itu. Sementara main di hari Sabtu, dalam rangka memenuhi undangan orang baik yang dengan sukarela memberikan traktiran sewa lapangan selama dua jam.
Main badminton di Sabtu sore sebenarnya bukanlah sesuatu yang sudah saya rencanakan. Tiba-tiba saja siang hari, hanya beberapa jam sebelum jadwal sewa lapangan, ajakan itu datang. Jujur saja sebenarnya saya sedang tak ingin kemana-mana. Beberapa bulan ini saya memang hanya ingin di rumah. Entah karena badan yang sedang tidak fit atau karena sebab yang lain. Tapi saya kemudian berpikir, sepertinya keluar 2 jam bukanlah ide yang buruk. Apalagi ini untuk olahraga. Untuk tujuan kebugaran badan.
Satu jam sebelum jam sewa lapangan, saya sudah bersiap. Mengemas raket, handuk, sepatu dan baju ganti. Setelah semua beres saya berangkat. Tak langsung menuju ke lapangan. Mampir dulu ke warung bakso yang jaraknya tak terlampau jauh dari rumah. Agar perut yang sudah kemrucuk sedari siang segera terisi dan tenaga segera terkumpul.
Warung bakso tempat saya makan ini adalah salah satu langganan saya. Penjualnya wanita paruh baya. Usianya mungkin 50-an.
Ibu penjual bakso ini sangat ramah. Berbicara kepada pembelinya dengan bahasa Jawa kromo. Pelayanan pun sangat cepat. Saya baru duduk sebentar saja, semangkuk bakso dan segelas es teh sudah tersaji di hadapan saya.
Sambil menyantap bakso dan menikmati es teh, sesekali saya memperhatikan ibu penjual bakso yang sore itu ditemani suaminya.
Sore itu tak ada pengunjung lain selain saya. Si ibu relatif tak terlalu sibuk. Dan diwaktu luangnya itu saya lihat beliau mengambil HP nya dan tak lama kemudian muncul suara seorang wanita dan seorang anak kecil.
Ibu penjual bakso menatap layar HP nya dengan beragam ekspresi. Ia ternyata sedang video call dengan cucunya. Anak laki-laki berumur 3 tahun.
Suasana akrab dan penuh kasih sayang tergambar jelas dalam obrolan nenek dan cucunya itu. Sang nenek mengucapkan pertanyaan-pertanyaan yang menunjukkan perhatian. Dan sang cucu --sambil sesekali dipandu bundanya-- memberikan jawaban-jawaban yang melegakan.
"Sampun mandi, le?"
"Sampun, Mbah.."
"Sampun ngaji?"
"Inggih, sampun, Mbah.."
"Alhamdulilah, bocah kok baguse eram. Pinter sekolahe. Pinter ngaji e ya, le..."
"Aamiin..."
Saya sudah sering mendengar obrolan macam itu. Tapi entah mengapa, obrolan antara ibu penjual bakso dan cucunya ini terasa berbeda: begitu tulus, menunjukkan kasih sayang dan menggambarkan kebahagiaan orangtua kepada anak turunnya.
Dada saya tiba-tiba penuh. Penuh rasa bahagia karena mendengar obrolan itu. Tapi rasa bahagia itu segera berganti dengan perasaan campur aduk tak karuan karena mendengar obrolan lanjutan antara ibu penjual bakso dan cucunya itu.
"Cita-citamu dadi opo le?"
"Dados polisi, Mbah.."
"Aamiinn..dungone Mbahe ya le. Mugo-mugo wujud cita-citamu. Ora opo-opo bapakmu saiki soro kerjo nyupir nang Kalimantan, sing penting mbesok kowe dadi. Iso nyenengne bapak ibuk. Iso mbanggakne mbah. Semangat!"
Demi apapun, perkataan si Mbah untuk cucunya itu benar-benar membuat saya terharu. Ini mungkin akan membuat saya terlihat cengeng, tapi biarlah, saya tak peduli.
Saya sangat terharu oleh doa nenek yang begitu tulus untuk cucunya. Rentetan kalimat yang beliau ucapkan itu saya yakini bukan cuma sekadar bebungaan di mulut. Tapi sesuatu yang muncul dari hati yang mungkin kelak akan membuka jalan bagi terwujudnya cita-cita sang cucu.
Saya juga terharu akan perjuangan seorang ayah yang rela pergi merantau agar keluarganya hidup layak. Agar anak-anaknya bisa menggapai cita-cita. Keputusan sang ayah untuk merantau, bagi saya adalah sebenar-benarnya cinta, seutuh-utuhnya wujud kasih dan segagah-gagahnya perjuangan.
*****
Bakso dan es teh pesanan saya sudah tandas. Ibu penjual bakso juga sudah selesai video call dengan cucunya. Saya menghampiri beliau untuk membayar. Dan mengucapkan terima kasih: Terima kasih atas bakso dan es tehnya. Juga terima kasih atas atas pelajaran yang begitu berharga.
Sebelum meninggalkan warung bakso itu, diam-diam dalam hati saya tumbuh harapan: Semoga hidup yang saya jalani selalu dikelilingi oleh doa dari orang-orang seperti ibu penjual bakso tersebut. Dan semoga kelak saya juga memiliki cinta yang sebenarnya, kasih sayang yang seutuhnya dan perjuangan yang paling gagah, seperti yang ditunjukkan oleh ayah bocah laki-laki berumur 3 tahun yang bercita-cita jadi polisi itu.
Aamiinn..
Aamiin...
Aamiinn...
Comments
Post a Comment